AGENDA MENDESAK BANGSA
SELAMATKAN INDONESIA !
AMIEN RAIS
Bangsa
Indonesia, Bangsa kita ini, Bangsa nomor empat terbesar di muka bumi nampaknya
sedang mengalami krisis jati diri dan krisis identitas. Ada masalah besar yang
sedang melanda Negara kita, yaitu masalah nasionalisme. Nasionalisme kita masih
dangkal, kita bangga ketika sepak bola Indonesia bisa berlaga di kancah dunia,
kita senang ketika Indonesia menang dan sedih ketika Indonesia kalah, itu
adalah hal yang wajar bagi seorang warga negara, tapi disini terlihat letak
Nasionalisme kita, Nasionalisme olahraga hanyalah Nasionalisme simbolik,
Nasionalisme kita belum sampai pada Nasionalisme ekonomi, politik, pertahanan
kemanan, dan pendidikan. Kalau diibaratkan, Nasionalisme kita seperti rumah di
pinggir jalan. Sebagai pemilik rumah, kita berusaha sebisa mungkin untuk
menghias pagar rumah kita, sebisa mungkin pagar rumah kita terlihat bagus dan
indah, kita tidak peduli barang – barang rumah yang dicuri dan dirampas oleh
orang lain. Kita tidak peduli dengan barang – barang di dalam rumah sebagai
kebutuhan yang digunakan untuk kelangsungan hidup kita. Itulah yang terjadi
dalam Nasionalisme kita sekarang. Dalam urusan masa depan Bangsa, kita jangan
pernah alergi dengan perbedaan pendapat dan kritik yang mungkin terbilang tajam
dan pedas, karena masa depan menyangkut generasi muda kita sekarang.
Indonesia
saat ini sudah merdeka, tapi yang terjadi saat ini hanyalah pengulangan sejarah
Indonesia dulu ketika masih dijajah oleh Bangsa asing. Walaupun Indonesia sudah
merdeka, tapi sebenarnya Indonesia masih menjadi Bangsa yang terjajah. Kalau
dulu Indonesia dijajah dengan fisik, penindasan secara fisik, kalau sekarang
Indonesia dijajah secara ekonomi, politik, pendidikan, dan pertahahanan
keamanan. Kini sudah tidak ada lagi penindasan secara fisik yang dirasakan oleh
rakyat Indonesia, tapi sistem politik, ekonomi, pendidikan, dan pertahanan
keamanan yang membuat kita masih dijajah oleh Bangsa asing. Indonesia masih
belum mandiri dan berdikari seperti yang dicita – citakan oleh para pendiri
Bangsa ini. Mental pejabat Negeri ini masih bermental inlander, Indonesia
sekarang ini hanya menjadi pelayan dari Bangsa asing. George Santanaya. Filosof
Spanyol berpendidikan Amerika, pernah memperingatkan bahwa mereka yang gagal
mengambil pelajaran dari sejarah dipastikan akan mengulangi peristiwa sejarah
itu. Kini sejarah berulang bagi Indonesia. Apa yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad SAW mengenain pentingnya kesadaran sejarah, melampaui jauh pendapat
para filosof, Beliau mengatakan : “Barang siapa memiliki masa sekarang yang
lebih bagus dari masa lalunya, ia tergolong orang yang beruntung, bila masa
sekarang sama dengan masa lalunya, ia termasuk orang yang merugi, bisa masa
sekarang lebih buruk dari masa lalunya, ia termasuk orang yang bangkrut”. Mudah
mudahan kita tidak termasuk Bangsa yang bangkrut seperti perkataan Nabi
Muhammad tersebut. Sejarah adalah kontinuitas antara masa lampau, masa
sekarang, dan masa depan. Kini kita sedang mengalami pengulangan sejarah di
masa lampau, sampai saat ini Indonesia hanya menjadi pelayan dan pengikut yang
selalu patuh oleh Bangsa asing. Kekayaan alam kita diambil dan dikuras untuk
kepentingan Bangsa asing, kita hanya diam dan cenderung mengikuti permainan
mereka.
Sebuah
buku berjudul Globalization (Alex Mac Gilivray, 2006) menerangkan ada
sekitar 3.300 buku berbahasa Inggris, 700 buku berbahasa Prancis, 670 buku
berbahasa Jerman, dan ratusan lainnya berbahasa Rusia, Arab, Hindia, Cina,
Spanyol, dan lain lain yang membahas berbagai masalah seputar globalisasi. Di
samping itu juga ada ribuan artikel berserakan di berbagai jurnal, majalah,
website, dan koran tentang hal yang sama, oleh karena itu wajar banyak sekali
definisi tentang globalisasi. Perdagangan Internasional antara sesama negara
kaya maupun atar sesama negara miskin terus meningkat pada dasawarsa 1980-an
dan 1990-an, buat negara kaya dari 27 ke 39 persen, dan negara miskin 10 ke 17
persen. Jan Aart Scholtc menggambarkan secara garis besar ada 5 definisi luas
tentang globalisasi seperti ditemukan dalam literatur :
1.
Globalisasi
sebgai internasionalisasi yakni dilihat sebagai kegiatan antar negara yang
melampaui batas wilayah masing – masing sehingga terjadi saling tukar dan
saling ketergantungan internasional, terutama menyangkut modal dan perdagangan.
2.
Globalisasi
sebagai liberalisasi yakni merujuk pada proses pemusnahan berbagai restriksi
politik sehingga ekonomi dunia menjadi lebih terbuka dan tanpa batas.
3.
Globalisasi
sebagai universalisasi informasi, komunikasi dan transportasi dan berbagai
kegiatan masyarakat dunia lainnya.
4.
Globalisasi
sebagai westernisasi dan modernisasi yakni merebaknya ke seluruh dunia struktur
modernitas barat yang menyangkut kapitalisme, rasionalisme, industrialisme,
birokratisme dan lain sebagainya yang cenderung merusak budaya lokal yang sudah
ada lebih dulu.
5.
Globalisasi
sebagai deteritorialisasi dimana terjadi rekonfigurasi geografi, sehingga ruang
sosial tidak lagi dipetakan berdasarkan peta teritorial, jarak dan batas
teritorial.
Ada
tiga pilar globalisasi sejak 1980-an, yaitu IMF, World Bank, dan WTO. Tiga
pilar globalisasi itu berada di Washington dan memiliki kesamaan pandangan
mengenai apa yang harus ditempuh negara berkembang yang dilanda krisis ekonomi.
Williamson merumuskan pandangan itu menjadi 10 langkah dan langkah itu dikenal
sebagai Konsensus Washington. Konsensus Washington itu adalah :
1.
Perdagangan bebas
2.
Liberalisasi
pasar modal
3.
Nilai tukar
mengambang
4.
Angka bunga
ditentukan pasar
5.
Deregulasi
pasar
6.
Transfer aset
dari sektor publik ke sektor swasta
7.
Fokus ketat
dalam pengeluaran publik pada berbagai target pembangunan sosial
8.
Anggaran
berimbang
9.
Reformasi pajak
10.
Perlindungan
atas hak milik dan hak cipta
John Ralston Saul menulis janji
globalisasi seperti sering dikemukakan para sponsornya adalah :
Ø Kekuasaan Bangsa-Negara semakin redup
Ø Negara-Bangsa semacam itu mungkin malah segera gulung tikar
Ø Di masa depan kekuasaan terletak pada pasar global
Ø Ekonomi, bukan politik dan militer, yang membentuk
peristiwa-peristiwa masyarakat
Ø Pasar ekonomi global, bila dibiarkan berjalan bebas, akan mencapai
keseimbangan ekonomi internasional
Ø Masalah abadi siklus boom and bust akan berakhir
Ø Pasar bebas akan mendorong gelombang dagang yang pada gilirannya
akan mengangkat pertumbuhan ekonomi dunia yang besar
Ø Gelombang besar itu akan mengangkat seluruh kapal ekonomi baik di
Negara kaya maupun Negara miskin
Ø Kemakmuran yang diraih akan menggeser kediktatoran dan menggantinya
dengan demokrasi
Ø Demokrasi baru itu akan melenyapkan nasionalisme picik, rasisme
yang tidak bertanggung jawab dan kekerasan politik
Ø Di lapangan ekonomi, pertumbuhan pasar yang dahsyat memerlukan
kehadiran berbagai korporasi yang lebih besar
Ø Korporasi yang begitu besar tidak memungkinkan terjadinya
kebangkrutan dan karena itu justru menjamin stabilitas internasional
Ø Para tokoh korporasi trans-nasional akan memegang kepemimpinan
peradaban karena penguasaannya atas pasar
Ø Akhirnya berbagai korporasi dunia itu akan menjadi semacam negara
dan tatanan kehebatan dominasinya tidak mudah dimasuki prasangka prasangka
politik lokal
Globalisasi
seakan-akan memunculkan penjajahan baru dalam bentuk yang berbeda, penjajahan
dalam globalisasi tidak lagi menggunakan kekerasan, tetapi menggunakan sebuah
politik yang menindas negara berkembang khususnya secara tidak langsung. Maka
dapat dikatakan globalisasi adalah imperialisme ekonomi, karena di zaman
globalisasi ini, kesenjangan sosial semakin melebar, kesenjangan antara yang
kaya dengan miskin semakin terlihat dan tidak ada perubahan membaik. Akhir
dasawarsa 1990-an, memasuki awal abad 21, 20% penduduk dunia yang kebetulan
hidup di negara-negara maju menikmati 86% penghasilan dunia, sedangkan 20%
paling bawah hanya mendapat 1% penghasilan dunia, sekitar 3,5 milyar atau 1/6
penduduk dunia berpenghasilan kurang dari satu dolar perhari. Lebih dari 80
negara memiliki pendapatan perkapita yang makin kecil pada akhir 1990-an
dibandingkan dengan 1980-an. Di tahun 1960, sebanyak 20% penduduk paling atas
berpenghasilan 30 kali lebih besar daripada 20% penduduk paling bawah. Hal ini
semakin membesar menjadi 32 kali pada 1970, 45 kali pada 1980, dan 60 kali pada
1990. Pada penghujung akhir abad 20 penduduk dunia yang merupakan 20% di
peringkat atas memperoleh 75 kali lebih besar dibandingkan penghasilan 20% yang
ada di peringkat bawah. Kesenjangan makin telak terlihat di bidang cyberspace,
seperlima penduduk teratas dari segi penghasilan mencakup 93% pengguna jasa
internet, sedangkan seperlima dibawah hanya meliputi 0,2% pengguna internet. Perbaikan
pendidikan dasar untuk semua di negara-negara berkembang memerlukan dana
sebesar $ 6 milyar setahun, jumlah yang sangat terbatas dibandingkan dengan $ 8
milyar yang dihabiskan untuk belanja kosmetik di AS saja. Instalasi air dan
sanitasi di negara-negara berkembang memerlukan $ 9 milyar, sedangkan konsumsi
es krim mencapai $11 milyar di Eropa. Pemeliharaan kesehatan dasar dan nutrisi
memerlukan $ 13 milyar, sementara $17 milyar dihabiskan untuk membeli makanan
hewan piaraan di Eropa dan Amerika Serikat. Demikian juga kemiskinan dunia yang
memilukan sudah begitu meluas, sementara $ 35 milyar dibelanjakan untuk bisnis
hiburan di Jepang, atau $ 105 milyar untuk konsumsi alkohol di Eropa, pasti ada
yang salah dengan distribusi kekayaan yang ada di dunia ini. Noam Comsky
mengingatkan : “Globalisasi yang tidak memprioritaskan hak-hak rakyat sangat
mungkin merosot terjerembab ke dalam bentuk tirani, yang dapat bersifat
oligarkis dan oligopolistis. Globalisasi semacam itu didasarkan atas
konsentrasi kekuasaan gabungan negara dan swasta yang secara umum tidak
bertanggung jawab pada publik”.
Globalisasi
yang telah berjalan pada sekitar 3 dasawarsa terakhir ini telah memunculkan
kritik-kritik, dan kritik tajam itu berasal dari kalangan dalam, dari mereka
yang pernah menjadi “sarang penggerak” globalisasi seperti Joseph Stiglitz dan
John Perkins, atau dari kalangan LSM internasional seperti Naomi Klien, Susan
George, Arundhati Roy, Tariq Ali atau pemikir bebas seperti Stephan Lendman,
atau para akademisi seperti Chalmers Johnson, Noam Chomsky, James Petras,
Walden Bello, Howard Zinn, Mendiang Kenneth Galbraith dan sebagainya. Dan
diantara mereka yang mengkrtik, Joseph Stiglitz yang paling menjulang karena
pemikirannya yang konsisten dan komprehensif, dengan didukung teori ekonomi dan
praktik lapangan yang mengesankan. Globalisasi ini tidak fair dan sangat
menguntungkan negara-negara maju dan tidak memikirkan negara berkembang, mereka
menindas negara berkembang dengan penjajahan ekonomi juga politik luar negeri.
Permainan
globalisasi juga diikuti oleh korporatokrasi atau para korporasi besar yang
dalam keadaannya dapat mendikte, bahkan kadang-kadang membeli pemerintahan untuk
meloloskan keinginan mereka. Korporatokrasi ini mempunyai 7 unsur yaitu :
1. Korporasi
besar, pada umumnya korporasi besar dihinggapi penyakit pathology of profit atau penyakit mencari untung secara membabi
buta. Tujuan mutlak korporasi adalah mencari keuntungan maksimal dengan biaya
minimal dan waktu minimal. Semua cara dapat ditempuh untuk mendapatkan
keuntungan maksimal. Kompromi adalah kata yang harus dihindari, karena kompromi
berarti kegagalan. Dalam memburu keuntungan maksimal berbagai korporasi melakukan
skandal dalam berbagai bentuk. Ada beberapa perbedaan yang mencolok antara
kejahatan korporasi dengan kejahatan baiasa. Pertama, kejahatan yang tidak
mungkin bisa dilakukan oleh mafia, gangster, perompak, dan penjahat jalanan,
tetapi bisa dilakukan oleh korporasi besar adalah membuat undang-undang. Atau
lebih tepat mendikte undang-undang pada pemerintah dalam arti luas, yakni lewat
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua, kehancuran yang ditimbulkan oleh
kejahatan korporasi jauh lebih dahsyat daripada kejahatan biasa, kejahatan
kerah putih di Amerika merugikan negara/rakyat sebesar antara 300-500 milyar
dolar pertahun. Ketiga, karena kekuatan politiknya, kejahatan korporasi
cenderung selalu menang apabila dibawa ke proses hukum. Keempat, begitu kuatnya
korporasi itu, sehingga banyak hakim dan jaksa justru membela korporasi dengan
menghindari keadilan. Kelima, lembaga-lembaga hukum yang ada seperti
kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan pada umunya tidak memiliki kemampuan dan
keberanian untuk menjangkau kejahatan korporasi.
2. Pemerintah,
pemerintah dilipilih oleh rakyat untuk membela kepentingan rakyat
sebesar-besarnya. Pemerintah yang seharusnya berpihak untuk kemakmuran
masyarakatnya, akan tetapi pemerintah seakan-akan dibeli oleh korporasi besar
untuk bekerja sama denga mereka dan membuat undang-undang yang tidak pro
rakyat, berkerja sama mengambil dan menguras sumber daya alam yang
keuntungannya dibagi dua antara korporasi besar dengan pemerintah itu sendiri,
akhirnya memunculkan kapitalisme.
3. Perbankan
dan lembaga keuangan internasional, diantara banyak korporat, ada dua bank
penting bentuka antara Amerika dengan sekutu-sekutunya lewat konferensi Bretton
Woods di akhir perang dunia II yaitu World Bank dan International
Monetary Fund. Keduanya berperan sebagai instrumen untuk membela
kapitalisme internasional, mengupayakan keuntungan maksimal bagi
korporasi-korporasi besar, dan melestarikan dominasi ekonomi Amerika. Pembagian
kerja masing-masing dapat dilukiskan sebagai berikut : World bank memeberikan
pinjaman jangka panjang ke negara-negara berkembang untuk mendanai
proyek-proyek pembangunan semisal membuat jalan, waduk/dam, pusat-pusat
pembangkit tenaga listrik, jembatan, pelabuhan, sekolahan , dan berbagai
pembangunan infrastruktur lainnya. Sedangkan IMF memilih mana negara-negara
yang perlu dibantu untuk mencapai stabilitas ekonomi dan finansialnya serta
memberikan arahan-arahan apa yang harus dikerjakan oleh negara yang mendapat
bantuan hutang. Kalau ingin mendapat bantuan hutang, negara-negara berkembang
harus melakukan SAP (structural adjustment program) yang didiktekan secara sepihak. Bila para
elite negara berkembang tunduk dan patuh terhadap WB dan IMF, mereka akan
dipuji-puji dengan pujian yang penuh kebohongan.
4. Militer,
kutipan utuh dua paragraf dari bukunya (2005) : Dalam kaitan tatanan dunia
baru, para perancang militer di Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan
dan CIA menentukan kebijakan luar negeri. Mereka tidak saja menjalin hubungan
dengan NATO, tetapi juga membangun kontak dengan pejabat-pejabat IMF, Bank
Dunia, dan juga organisasi perdagangan dunia (WTO). Pada gilirannya, birokrasi
keuangan internasional yang berbasis di Washington, yang bertanggung jawab
memaksakan resep-resep maut di dunia ketiga dan kebanyakan negara-negara bekas
blok uni soviet, memelihara hubungan dengan kekuatan keuangan Wall Street.
Kekuatan-kekuatan di belakang
sistem ini ada;ah bank-bank global dan lembaga-lembaga keuangan, kompleks
industri-militer, raksasa-raksasa minyak dan energi, para konglomerat di bidang
biotek dan farmasi, dan raksasa-raksasa media massa serta komunikasi, yang
mengarang berita dan secara terbuka mempengaruhi jalannya peristiwa-peristiwa
dunia melalui pendistorsian fakta-fakta secara kasar.
5. Media
massa, dalam teori demokrasi media massa baik cetak maupun elektronik yang
meliputi harian, mingguan, majalah, newsletter,
televisi dan radio, merupakan “wilayah demokrasi” keempat, disamping tiga
wilayah demokrasi lainnya, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Media
massa pada dasarnya telah menjadi pilar demokrasi keempat disamping tiga pilar
demokrasi lainnya. Namun, di era globalisasi ini media massa sebagai wilayah
demokrasi semakin merosot, karena media massa hari ini adalah media massa yang
dibarengi dengan kepentingan-kepentingan politik, media massa hari ini adalah
media massa yang dikuasai oleh korporasi besar, media massa hari ini adalah
media massa yang sangat tunduk kepada korporatokrasi. Setiap berita yang
dimunculkan itu harus dengan persetujuan korporatokrasi.
6. Intelektual
pengabdi kekuasaan, seorang intelektual adalah seorang yang memiliki
pengetahuan umum secara memadai sehingga mampu menangkap fenomena yang tengah
berlangsung dalam masyarakat, bangsa, dan negaranya serta sanggup menanggung
resiko dalam perjuangan menegakkan kedilan dan kebenaran. Dengan demikian kaum
intelektual memegang peran menentukan dalam setiap perubahan sosial, bahkan
revolusi yang terjadi di negara mereka. Kemampuan yang dimiliki kaum
intelektual yang tidak dimiliki oleh kelompok masyarakat lainnya adalah
kemampuan untuk melahirkan ide atau gagasan segar yang menjadi tenaga pendorong
perubahan sosial. Ada ungkapan asing yang mengatakan bahwa “ideas are the moving forces of history” (gagasan
adalah tenaga penggerak dalam sejarah). Namun ada kalanya gagasan yang dijual
oleh seorang intelektual justru melahirkan tragedi sejarah. Ada tiga golongan
intelektual. Pertama, para intelektual yang mengabdi pada kebenaran, keadilan,
dan kemanusiaan universal. Kedua, intelektual yang menentang perubahan. Ketiga,
intelektual “netral”, intelektual yang atas nama obyektivitas ilmu tidak pernah
tertarik untuk melakukan pemihakan.
7. Elite
Nasional bermental inlander, para
pejabat negara yang bermental pelayan bagi negara koporatokrasi atau
negara-negara yang berkuasa dengan globalisasi. Para pejabat nasional yang
bermental inlander adalah para pejabat nagara yang dengan mudah menjual
aset-aset negaranya untuk kepentingan asing. Mereka dengan mudah memberikan
jalan seluas-luasnya kepada asing untuk menguras habis sumber daya alam yang
seharusnya digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Keadaan Bangsa
Indonesia saat ini masih hanya menjadi pelayan asing, walaupun kita sudah
merdeka, tapi kita masih terjajah secara ekonomi oleh asing. Pejabat-pejabat
negeri ini masih berjiwa inlander[1]
atau pelayan. Mereka menguasai ekonomi kita lewat apa yang dinamakan state capture corruption yakni korupsi
yang menyandera negara. State capture
corruption merupakan jenis korupsi yang super destruktif dan berskala
negara. Korupsi itu dilakukan oleh negara sendiri, karena oleh pemerintahan
yang sedang berkuasa, negara digadaikan pada kekuatan korporasi asing. Korupsi
yang dilakukan oleh pemerintah yang sedang berkuasa dan setia pada kepentingan
berbagai korporasi asing. Banyak deretan contoh yang terjadi, semasa presiden
Habibie adalah Bab Umum dari penjelasan UU 10/1998 menyebutkan : “Upaya
liberalisasi di bidang perbankan dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat sekaligus
meningkatkan kinerja perbankan nasional. Oleh karena itu, perlu diberikan
kesempatan yang lebih besar kepada pihak asing untuk berperan serta dalam
memiliki bank nasional sehingga tetap terjadi kemitraan dengan pihak nasional”.
Dengan aturan ini, pihak asing bisa memiliki hingga 99% saham bank di
Indonesia. Ini jauh lebih tinggi dari komitmen Indonesia di WTO yang pada
awalnya 49% lalu dinaikkan menjadi 51%. Indonesia bahkan lebih liberal dari
Amerika Serikat, Australia, Kanada, Singapura, dll. Sebagai dampak dari undang
undang liberal ini, saat ini 6 dari 10 bank terbesar di Indonesia sudah
dimiliki pihak asing dengan kepemilikan mayoritas. Zaman Megawati munculnya UU
No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, undang undang ini adalah UU pertama di
Indonesia yang memberikan landasan hukum eksplisit terhadap pelaksanaan
privatisasi. Namun sayangnya, privatisasi dengan konsep yang pro konsensus
Washington atau pro asing daripada yang ditujukan bagi kedaulatan dan
kemakmuran rakyat banyak. Berikut ini beberapa contohnya. Pertama, Bab umum
dari penjelasan UU BUMN tersebut, dalam bab umum butir II alinea pertama
tercantum kalimat “BUMN juga merupakan salah satu sumber negara yang signifikan
dalam membentuk berbagai jenis pajak, dividen dan hasil privatisasi”. Hal ini merupakan
perwujudan dari pilar konsensus washington yaitu stabilisasi ekonomi makro,
khususnya stabilisasi anggaran yang dilakukan dengan menjual BUMN untuk menutup
defisit. Jadi privatisasi untuk menutup defisit. Program seperti ini adalah
mirip petani yang menjual sawahnya karena terlilit hutang. Kedua, dalam bab
umum butir III dan IV diuraikan mengenai kegagalan BUMN memenuhi tujuannya,
bagaimana lingkungan global berubah dengan adanya globalisasi, privatisasi
sebagai solusi, dan privatisasi tidak berarti hilangnya kedaulatan negara.
Ketiga, pasal 76 menyebutkan persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang
kurangnya memenuhi kriteria: (a) industri/sektor usahanya kompetitif, atau (b)
industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah. Yang dimaksud
dengan industri/sektor usaha kompetitif adalah yang pada dasarnya dapat
diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta. Dengan kriteria ini, boleh
dikatakan sebagian besar BUMN sudah masuk kriteria “dapat diprivatisasi”, tanpa
batasan minimal tentang berapa persen saham pemerintah yang harus tetap
dipertahankan, dimana setelah itu tidak boleh lagi ada penjualan saham
pemerintah. Keempat, pasal 79 hingga 83 memberikan kekuasaan yang sangat besar
kepada komite privatisasi yang terdiri dari Menko Perekonomian sebagai ketua,
dengan anggota Menteri BUMN, Menkeu, dan Menteri Teknis yang terkait. Keputusan
komite privatisasi cukup “dikonsultasikan kepada DPR” bukan memerlukan
“persetujuan DPR”. Zaman Yudhoyono, kalau kita baca teliti Peraturan Presiden No
77/2007 itu kita akan tidak akan percaya dengan apa yang kita baca. Dalam
bagian c. Kepemilikan modal, Indonesia dijual habis-habisan. Pihak asing
diperbolehkan memiliki 95% kepemilikan modal di sektor Energi dan Sumber Daya
Mineral dan pembangkit tenaga listrik, 95% jasa pengeboran minyak dan gas bumi
di lepas pantai Indonesia Bagian timur, 95% transmisi tenaga listrik, 95%
distribusi tenaga listrik, 95% pembangkit tenaga nuklir, 95% pengeboran minyak
dan gas bumi di Darat, 95% pengembangan tenaga peralatan penyediaan listrik.
Kepemilikan asing boleh sampai 95% untuk penguasahaan jalan tol dan 95%
pengusahaan air minum. Di bidang pertanian, asalkan luas lahan melebihi 25Ha,
kepemilikan asing boleg sampai 95% di bidang budi daya padi, 95% budi daya
jagung, 95% budi daya ubi kayu, 95% pembenihan/pembibitan palawijaya, 95% usaha
industri perbenihan, 95% usaha perkebunan dan/atau industri pengolahan kelapa
sawit. Tidak kalah mengerikan adalah diperbolehkannya kepemilikan asing sampai
49% di bidang-bidang usaha Pendidikan Dasar dan Menengah, 49% Pendidikan
Tinggi, dan 49% Pendidikan Non-formal.
Sekarang pilar
globalisasi seperti IMF, World Bank, dan WTO tengah kehilangan para
pelanggannya, terutama dari negara-negara Amerika Latin. Mereka sudah sadar
bahwa semua yang dimainkan oleh globalisasi telah banyak merugikan negaranya.
Mereka sudah perlahan mencoba mandiri dan tidak menjadi pelayan lagi, mereka
sudah sadar bahwa globalisasi yang berjalan hingga sekarang adalah imperialisme
ekonomi yang sangat menindas. Tapi, nampaknya Indonesia masih betah menjadi
pelanggan globalisasi. Para pejabat negeri masih bermental inlander, masih
banyak aset-aset BUMN dan sumber daya alam Indonesia yang dikuasasi oleh asing.
Padahal dalam UUD 1945 BAB XIV pasal 33 ayat 3 menyebutkan “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Indonesia harus segera keluar dari
imperialisme ekonomi yang menguras habis kekayaan alam, para pejabat harus segera
sadar dan bermental mandiri.
Comments
Post a Comment