![]() |
"Refleksi" Karya Amang Rahman. Sumber: Indonesian Visul Art Archive |
Catatan kritis Abdul Hadi W.M. yang telah dibukukan dengan judul yang sama yaitu Kembali ke Akar Kembali ke Sumber menggambarkan fenomena perkembangan seni dan sastra modern di Indonesia tahun 1970 sampai 1980-an. Buku ini amat berkesan bagi saya di tengah proses pembacaan terhadap karya penting arkeologi Islam Indonesia karangan Hasan Muarif Ambary. Dari keduanya saya menangkap dengan lebih jelas aspek epistemologis wajah kebudayaan Indonesia.
Abdul Hadi W.M. secara kritis
membedah satu periode yang ditandai dengan kemunculan kesadaran baru dalam
perkembangan seni dan sastra modern di Indonesia. Periode yang berlangsung pada tahun 1970 sampai 1980-an ini, diakui mendorong daya kreatif serta memberi sumbangan yang berarti bagi pertumbuhan kehidupan seni dan kesusastraan. Periode ini muncul dengan kesadaran baru di kalangan seniman dan sastrawan untuk mempertemukan unsur tradisi dengan modernitas.
Kesadaran ini mengemuka pada dekade pasca menguatnya friksi yang terjadi di kalangan sastrawan dan seniman tahun 1960-an. Pada tahun ini terjadi pandangan yang saling berseberangan antara kelompok kebudayaan Lekra dengan Manifes Kebudayaan.
Dekade selanjutnya, yaitu tahun 1970 sampai 1980-an, merupakan kelanjutan dari friksi tersebut. Hanya saja pada dekade ini kelompok Manifes Kebudayaan berdiri dominan, bahkan melakukan promosi kebudayaan yang kian pesat berkat dukungan struktural baik secara nasional maupun global. Sedangkan eksistensi Lekra semakin hilang pasca konflik politik 30 September 1965.
Kalangan seniman dan sastrawan berpandangan liberal (humanisme universal) ini tampil menjadi arus utama dalam ruang ekspresi kebudayaan tahun 1970 sampai 1980-an. Mereka ialah para generasi muda dari elit intelektual yang mengambil ide-ide modernisme barat, yang sebagian besar juga merupakan simpatisan PSI.
Di tengah kemunculan kesadaran baru tersebut, tumbuh beragam kecenderungan. Abdul Hadi W.M. membagi beragam kecenderungan ini ke dalam
tiga kecenderungan berbeda.
Kecenderungan pertama ialah kalangan seniman dan sastrawan yang mengambil unsur-unsur tradisi untuk keperluan inovasi berdasarkan kesadaran modernitasnya. Kecenderungan pertama direpresentasikan oleh karya-karya Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Arifin C. Noer, Sutardji Calzoum Bachri, Sardono W. Kusumo, W.S. Rendra, Putu Wijaya, dan Ikranagara.
Kelompok ini adalah kelanjutan paling khas dari
kemunculan pandangan kebudayaan yang bertumpu pada modernisme barat. Kelompok ini menunjukkan pandangan kebudayaan yang antroposentris, menggambarkan tentang manusia modern yang rasional, individualis, dan materialis.
Mereka secara sadar mengambil
unsur-unsur tradisi, namun bukan untuk menggali khazanah pengetahuan dan akar
spiritualitasnya, melainkan untuk mempertegas kesadaran modernitas. Kisah-kisah dari latar belakang tradisional yang dituturkan dalam sajak, naskah novel maupun naskah-naskah
drama ditujukan untuk mengesankan karangan-karangannya yang eksistensialis dan absurd.
Karya-karya mereka mencerminkan
sebuah wacana sastra tragedi, sebagai suatu jenis drama yang berasal dari
Yunani dan berkembang dalam masyarakat barat. Wacana ini menampilkan
kisah-kisah tragis kehidupan manusia modern yang jatuh pada derita keterasingan
akibat modernitas, yang berakhir pada nihilisme, pesimisme, dan skeptisisme.
Beririsan dengan kecenderungan pertama, kecenderungan Kedua ialah mereka
yang mengambil tradisi sebagai pengetahuan ulayat. Kecenderungan kedua ini mengambil lokalitas satu budaya daerah tertentu seperti Jawa, Melayu, Sunda, dan Minangkabau. Bentuk kecenderungan ini terdapat dalam karya-karya N. H. Dini, Umar Kayam, Ahmad Tohari, Darmanto Jt,
Linus Suryadi A. G., Wisran Hadi, Ibrahim Sattah, dan Subagio Sastrowardojo.
Kepengarangan dari kecenderungan kedua ini mengambil tradisi sebagai ciri khas kedaerahan yang tidak dimiliki kelompok kebudayaan lain. Mereka mengambil kisah-kisah dari kehidupan masyarakat daerah seperti Jawa, Melayu, Minangkabau, atau tradisi kedaerahan lainnya untuk menunjukkan norma dan pranata kebudayaan daerah yang unik.
Namun yang penting dalam
kecenderungan kedua ini ialah tanda-tanda bias eurosentrisme, terutama terlihat
dalam karya-karya yang mengambil latar tradisi masyarakat Jawa. Kerancuan ini
dijelaskan oleh Abdul Hadi W.M., yang mencontohkannya dalam karya-karya N.H. Dini dan Y.B.
Mangunwijaya. Kecenderungan kepengarangan ini menunjukkan pandangan yang membatasi tradisi-tradisi masyarakat sebagai pola dan
pandangan hidup yang dibentuk dari pengaruh alam kepercayaan pra-Islam.
Gambaran karya-karya ini serupa
dengan apa yang disimpulkan oleh para sarjana barat tentang masyarakat Jawa.
Tradisi Islam dipandang tidak memberi peran penting dalam masyarakat Jawa bahkan hanya sebagai unsur budaya sampingan. Pandangan ini tentu cerminan pandangan khas para
orientalis yang memberi batas antara Islam dan masyarakat Jawa, bahkan
menganggap Islam sebagai outsider dalam
perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa, seperti yang diterangkan Taufik
Abdullah.
Sedangkan kecenderungan ketiga menempati pandangan kebudayaan yang berbeda dengan kecenderungan satu dan dua. Kecenderungan ketiga ialah mereka yang mengambil tradisi, langsung dari bentuk-bentuk spiritualitas dan agama. Dalam kecenderungan ini agama dipandang sebagai sumber pembentuk utama tradisi. Sebab tradisi dimakna sebagai norma dan pranata yang terbentuk atas pengaruh agama besar yang masuk, seperti Hindu, Budha, dan Islam.
Kecenderungan ketiga ini direpresentasikan dalam karya-karya Ahmad Sadali, A.D. Pirous, Amang Rahman, Amri Yahya, Oesman
Effendy, Danarto, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum
Bachri, Mohamad Diponegoro, Ajip Rosidi, Emha Ainun Nadjib, K.H. Mustofa Bisri,
D. Zawawi Imron, Abdul Hadi W.M., serta beberapa hal dalam sajak-sajak
Ikranagara, Slamet Kirnanto, Hamid Jabbar, Ajamuddin Tifani, Ahmad Nurullah,
Jamal D. Rahman, dan Acep Zamzam Noor.
Para seniman maupun sastrawan
kecenderungan ketiga ini mengambil tradisi untuk menyuguhkan dimensi agama
beserta sistem kepercayaan, peribadatan, dan bentuk-bentuk spiritualitasnya. Pandangan
ini bermaksud memberi makna bahwa agama ialah sumber dan akar tradisi. Agama merupakan unsur yang paling berperan dan berpengaruh dalam membentuk suatu tradisi,
sehingga kembali kepada tradisi berarti kembali kepada sumber dan akarnya,
yaitu agama.
Pandangan kebudayaan ini hendak
menembus jauh ke seberang bentuk-bentuk formal, yang tidak hanya memaknai tradisi sebagai produk sejarah. Melainkan sebagai sistem pengetahuan holistik yang
berhubungan dengan makna penciptaan, yaitu kehadiran Yang Transenden dalam
kehidupan. Pandangan kebudayaan ini paling dekat dipengaruhi oleh wawasan
estetika yang berasal dari agama Islam, sebagai agama yang telah menyatu dan
mengakar dengan tradisi masyarakat Nusantara.
Abdul Hadi W.M. mencontohkan wawasan estetika Islam ini melalui karya-karya Oesman Effendy, Amang Rahman, dan A.D. Pirous. Ketiganya berperan menaruh sumbangan penting terhadap perkembangan seni lukis, yang menampilkan karya-karya lukis bernuansa sufistik. Oesman Effendy bahkan menyebut dirinya sebagai seorang neo-tradisionalis, yang mengambil wawasan estetik pada karya-karyanya dari ajaran tasawuf.
Sastrawan Danarto turut memberikan pandangan tegas tentang kecenderungan sufistik ini. Menurutnya, kecenderungan yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai sastra transendental ini merupakan proses kembali ke sumber. Yaitu asal-usul kerohanian karya seni atau
sastra yang merupakan ilham yang diperoleh seorang seniman yang mendapat
pencerahan (enlightenment). Sedangkan
pencerahan diperoleh dari proses hubungan langsung seorang seniman dengan Yang
Transenden secara terus menerus, sehingga mencapai persatuan rahasia
dengan-Nya.
Wawasan estetika Islam yang
dibicarakan Abdul Hadi W.M. pada dekade 1970 sampai 1980-an ini sebenarnya
memiliki warisan kekayaannya sejak abad 17-19 M. Pada masa ini wawasan estetika Islam terkandung
dalam karya-karya para ulama sufi dan para pujangga kraton. Seperti yang dibicarakan Azyumardi Azra dalam disertasinya dan Nancy K. Florida dalam risetnya terhadap naskah-naskah Kraton Kasunanan Surakarta. Tak hanya itu,
kekayaan warisan estetika Islam bahkan telah tampak sejak abad ke-11 M melalui
hasil-hasil kebudayaan material.
Bukti-bukti warisan estetika Islam dapat ditelusuri melalui data-data arkeologi dan sumber epigrafi. Wawasan estetika tersebut tampak pada goresan artistik temuan artefaktual batu nisan serta seni arsitektur bangunan. Bentuk-bentuk estetika Islam yang dicirikan dalam bentuk kaligrafi, geometris, dan florish ini ditemukan bentuk-bentuk batu nisan, bangunan, pola hias baik nisan maupun bangunan.
Temuan batu nisan tertua pada
abad ke- 11 M adalah makam Fatimah bin Maimun di Gresik. Batu nisan ini
menampilkan goresan artistik kaligrafi jenis kufi, yang merupakan jenis kaligrafi
tertua dalam peradaban Islam. Batu nisan lainnya ialah pada temuan komplek
makam Troloyo, di Trowulan, Mojokerto. Temuan komplek makam ini menunjukkan jejak
keberadaan komunitas masyarakat muslim di lingkungan Kerajaan Majapahit.
Bukti-bukti estetika Islam pada
batu nisan mencapai puncaknya pada masa Kesultanan Syumuthrah Pasai (Samudra
Pasai) dan Aceh Darussalam. Artefak batu nisan beserta lokasi komplek-komplek
makam di Aceh ditemukan begitu melimpah, jejak kebesaran kesultanan Islam di Aceh. Batu-batu
nisan ini mencirikan bentuk-bentuk khas nisan tipe Aceh. Di dalamnya terdapat inskripsi kaligrafi berisi keterangan makam. Luas dan melimpahnya persebaran batu-batu nisan tipe
Aceh ini sangat dikenal di kawasan Asia Tenggara.
Kaligrafi pada batu nisan Aceh ini umumnya merupakan jenis kaligrafi sulus atau naskh, yang lazim ditemukan pada sejumlah artefak mulai abad ke-11 M. Temuan batu-batu nisan Aceh menaruh sumbangan pengaruh kebudayaan yang disebut oleh Hasan Muarif Ambary sebagai “Kebudayaan Batu Nisan Aceh”.
Ekspresi estetik yang tertuang dalam seni pahat ini menandai satu jejak artefaktual penting. Batu nisan selain dimaknai sebagai temuan arkeologis hasil kebudayaan material, juga menunjukkan aspek-aspek penting perkembangan estetika pada masa itu. Kemunculan seni modern kita seringkali meninggalkan konteks ini, dan jarang berupaya untuk menelusuri lebih jauh. Sementara jejak-jejak artefaktual sangat melimpah dan beragam.
Apa yang disusun oleh Hasan
Muarif Ambary dan apa yang dikemukakan Abdul Hadi W.M. adalah bantahan terhadap
arus modernisme barat beserta bentuk-bentuk perkembangannya. Kesadaran modern berlangsung membentuk masyarakat yang secara perlahan meninggalkan norma agama dan akar
tradisi sebagai unsur terpenting pembentuk
identitas masyarakat. Kesadaran ini berdampak pula menggeser pandangan kebudayaan kita hingga hari ini.
Ide-ide modern telah mendorong masyarakat membangun kesadaran untuk keluar dari kolonialisme. Modernisme sekaligus memberikan kesempatan besar bagi daya kreativitas dan inovasi-inovasi kebudayaan. Namun secara bersamaan modernisme juga menggeser pandangan kebudayaan masyarakat, yang kini menjadi arus utama perkembangan seni dan kesusastraan.
Oleh karena itu keduanya sekaligus melakukan upaya kritis terhadap anggapan elit intelektual yang digandrungi modernitas. Seperti anggapan Sutan Takdir Alisyahbana dalam esai-esainya yang telah dibukukan yang mencoba memberi pembatas tegas antara zaman pra-Indonesia dan zaman Indonesia. Baginya zaman Indonesia ialah zaman baru yang dinamis yang digagas elit intelektual pada abad ke-20. Sedangkan zaman pra-Indonesia berakhir hingga abad ke-19, sebagai kebudayaan statis yang anti-intelektualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, dan anti-materialisme. Keduanya bahkan dianggap tidak memiliki hubungan historis.
Selain itu, Hasan Muarif Ambary
dan Abdul Hadi W.M. juga menaruh kritik pada dunia intelektual agar tak jatuh
pada anggapan-anggapan yang dihasilkan para sarjana barat. Keduanya menyuguhkan
catatan sekaligus rumusan penting agar tak larut pada penyempitan makna tradisi. Jika tradisi dimaknai dalam makna hakikatnya, maka kita tidak hanya mudah terpesona
dengan penampakan zahir, melainkan berupaya menembus ke dimensi terdalam dari
tradisi.
Comments
Post a Comment