BERKACA DIRI

            Dalam suatu kesempatan saya dapat berbincang dengan kakak tingkat saya di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam suatu malam menjelang pergantian hari, perbincangan yang sederhana tapi cukup membuat saya sadar tentang keadaan mahasiswa hari ini, khususnya saya. Dalam perbincangan itu saya disadarkan dengan sebuah cerita tentang mahasiswa kira-kira tahun 2010 kebawah. Sebelumnya saya juga sudah pernah membaca sebuah tulisan tentang keadaan mahasiswa hari ini, lebih jelasnya sebenarnya banyak perbedaan yang mengecewakan dari mahasiswa dulu dengan mahasiswa yang sekarang.
            Dalam perbincangan di suatu malam menjelang pergantian hari itu, saya menjadi pendengar. Dua kakak tingkat saya memberi berbagai pengalaman dan penjelasan tentang dunia mahasiswa khususnya di program studi Ilmu Sejarah UNS. Dulu mahasiswa itu senang diskusi, baik di kelas maupun diluar kelas. Kalau di kelas, diskusi tidak selesai sampai jam mata kuliah habis, mahasiswa masih mempertahankan argumennya.
            Dalam diskusi, mahasiswa membawa buku bacaannya masing-masing. Diskusi terkadang sampai mengeluarkan urat, saking tidak mau kalahnya. Sebelum mata kuliah dimulai, mahasiswa sibuk membaca buku yang bersangkutan dengan mata kuliah itu, untuk kemudian berdiskusi kembali didalam kelas. Ruang kelas menjadi arena adu argumen antar mahasiswa. Terkadang ada diskusi yang mempertontonkan adu ideologi antar mahasiswa.
 Ruang kelas ramai dengan para intelektual muda yang saling beradu pendapat. Ruang kelas ramai dengan percampuran ideologi yang sama-sama kuat. Dosenpun terpaksa harus menambah perbendaharaan pengetahuan buku untuk menjawab berbagai pertanyaan mahasiswa. Sistem pembelajaran dua arah sudah menjadi sebuah tradisi dalam Perguruan Tinggi. Tidak hanya ruang kelas yang ramai dengan diskusi mahasiswa, perpustakaanpun selalu diburu sebagai tempat untuk menambah intelektualitas. Kalau boleh saya berpendapat, buku dulu menjadi sebuah gengsi yang tinggi. Bisa jadi ukuran kerennya mahasiswa itu dilihat dari perbendaharaan bukunya.
Berbeda dengan mahasiswa hari ini yang cenderung satu arah didalam kelas. Kalau kritikannya di kelas hanya mendengarkan guru berceramah. Dalam mendengarkanpun, bisa jadi hanya masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri. Sebuah pernyataan  yang membuat saya benar-benar berkaca kepada diri saya khususnya.
Ruang kelas tetap sama seperti dulu, tetap terisi dengan para intelektual muda, hanya ruang kelas hari ini sepi dengan diskusi dan dialog intelektual. Identitas mahasiswa sebagai intelektual muda hari ini sudah mulai habis. Dosen bingung menjelaskan apalagi sedangkan waktu mata kuliah masih sisa. Mahasiswa menunggu-nunggu saat untuk keluar kelas. Ruang kelas bukan lagi tempat favorit mahasiswa, perpustakaanpun sudah bukan lagi menjadi tempat menghabiskan waktu di kampus.
Barangkali ukuran keren mahasiswa hari ini bukan lagi diukur dengan perbendaharaan buku, tapi dengan fashion seperti sinetron. Berbedat sampai mengeluarkan urat bukan lagi tentang ideologi, melainkan game. Saling mempertahankan argumen untuk membuktikan siapa yang paling hebat dan tak terkalahkan.

Akan saya lanjut tulisan ini dengan mengaitkan kebijakan pemerintah


Comments