DISKUSI SEDERHANA

            Hari Jum’at tanggal 26 Mei 2017 kemarin saya diajak oleh teman untuk mengantarnya menservis laptop di daerah Kartasura. Setelah selesai dari tempat servis laptop, sekitar jam dua siang saya dan teman saya menuju perjalanan pulang. Dengan cuaca siang hari dan matahari yang cukup terik, membuat kami merasa haus. Akhirnya dia mengajak saya untuk istirahat sejenak di Taman Sriwedari Solo. Sesampainya disana, kami langsung mencari pedagang minuman, dan yang kami dapatkan adalah es doger. Kami memesan es doger dan meminumnya sembari duduk-duduk di depan Taman Sriwedari. Tidak puas dengan es doger yang baru sedikit diminum, kami membeli batagor karena memang terasa lapar.

            Setelah sekitar dua menit kami berdiam diri menikmati jajanan, tiba-tiba teman saya bertanya kepada saya, “Eh, sepanjang hidup lu sampe sekarang, menurut lu apa sih akar masalah dari Indonesia ?” (dalam percakapan ini memakai bahasa gua elu karna memang sama-sama orang Jabodetabek). Pertanyaan yang cukup konstruktif, dan darisana terjadi diskusi sampai sekitar jam setengah empat sore. Akhirnya saya menjawab, “Menurut gua ada dua hal yang menjadi akar masalah dari Indonesia. Pertama, dilihat dari masyarakat sipil masih membudaya pola pikir yang hedonistik dan materialistik, masyarakat sipil masih berfikir hal yang instan tanpa adanya sebuah proses, yang akhirnya terlalu bergantung pada materi. Pola pikir yang kurang dewasa dalam kehidupan sehari-hari pun merupakan budaya yang harus diubah. Kedua, dilihat dari pemerintah, para pejabat Indonesia masih banyak yang bermental penakut, dan sifat nasionalis juga masih jarang ditemukan dalam beberapa pejabat di Indonesia. Itu menurut pendapat gua”.

            Kemudian dia memberikan pendapatnya, “Menurut gua, akar masalah yang ada di Indonesia tuh masalah kesejahteraan, akhirnya membuat pola pikir masyarakat ga mempedulikan penyebab apa yang akan terjadi dari perbuatan dan tindakannya. Karna apa, karna kesejahteraan masyarakat Indonesia belum terpenuhi”. Saya melontarkan pertanyaaan kepada teman saya, “Terus ukuran kesejahteraan yang lu maksud tuh gimana ?”, “Nah itu yang belum gua temuin”, jawabnya. Saya memberikan pendapat lagi, “Kalau ukuran kesejahteraan lu adalah ekonomi, berarti poin lu mungkin adalah kesenjangan. Tapi, ukuran ekonomi menurut gua tidak menentukan perbedaan pola pikir, karna yang gua liat orang kaya pun banyak yang egois melakukan tindakan yang tidak memikirkan penyebabnya, mereka hanya berfikir tentang hartanya, juga emang golongan bawah terlihat semakin bergantungnya pada materi”.

            Dari dua pendapat antara saya dengan teman saya, sebenarnya sama-sama kembali kepada pola pikir, hanya saja perbedaan penyebabnya. Akhirnya teman saya kembali berpendapat, “Berarti, mungkin pola pikir sebagian besar masyarakat Indonesia yang harus diubah. Tapi, apa sebab dari pola pikir ini ya”. Dia mencoba berfikir lagi dan mengatakan, “Ah, mungkin pendidikan yang belum sempurna”. Pembahasan yang cukup menarik bagi saya ketika dia membahas masalah pendidikan. Akhirnya saya beropini lagi, “Gini aja deh, gua tanya, apa arti pendidikan bagi lu ? kalau bagi gua, pendidikan itu ketika kita hidup. Gua hidup maka gua mendapat pendidikan, gua hidup maka gua belajar. Makanya, belajar dan mendapat pendidikan itu bukan hanya sebatas dalam sebuah lembaga, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Toh, hari ini pendidikan di lembaga ga menjamin semakin dewasa dan bijaksana seseorang dalam kehidupannya. Gua pernah baca sebuah tulisan yang menyatakan bahwa orang yang pintar di dalam kelas belum tentu pintar dalam kehidupan, tulisan itu dinyatakan dengan sebuah percobaan seorang anak buta disuruh pergi dari Jakarta ke Surabaya sendiri, tentunya disediakan biayanya, akhirnya anak itu memang sampai pada tujuan yang ditentukan. Kemudian tulisan itu berkesimpulan bahwa pendidikan mental dan karakter seseorang juga harus di bentuk melalui tantangan juga pengalaman yang membuat seseorang lebih tangguh dan lebih dewasa dalam kehidupannya. Makanya, bagi gua pendidikan itu harus seimbang antara teori dan implementasi, belajar dalam ruang kelas juga harus seimbang dengan tantangan dan pengalaman di luar kelas”.

            Langsung teman saya menguraikan pendapatnya, “gua setuju sama pendapat lu, dan bagi gua pendidikan itu mendidik seseorang untuk menjadi baik dan benar, sehingga dia bisa bersikap dewasa dan tidak sembarangan dalam kehidupan sehari-harinya. Yang pada akhirnya manusia yang berpendidikan selalu berfikir apakah perbuatan dan tindakannya dalam segala aspek kehidupan udah baik dan benar. Nah itu pendidikan bagi gua”. Diskusi siang itu berhenti sampai pembahasan pendidikan, sampai tak terasa teman saya menambah porsi es dogernya di sela-sela diskusi tadi. Selesai itu kami bayar es doger dan batagor, kemudian sekitar jam setengah empat sore kami berangkat menuju kos-kosan lagi.
           


Dikusi sederhana yang menurut saya cukup membangun, walaupun memang masalah Indonesia itu begitu komplek dan barangkali masih jauh dari kata sempurna apa yang saya dan teman saya diskusikan. Silahkan tanyakan kembali kepada masing-masing tentang akar masalah Indonesia, dan mari kita perbanyak diskusi.






Semangat membangun Indonesia !

Comments