Korelasi Sejarah dengan Masa Depan

            Ketika saya membaca buku Dinamika Sejarah Asia Selatan yang ditulis oleh Drs. Suwarno M.Si, ada hal yang mengejutkan saya yaitu tentang salah satu penyebab runtuhnya Imperium Mughal di India. Kurang lebih kutipan dalam buku itu seperti ini “Menurut Stanley Lane Pole : para pejabat Negara (baik militer maupun sipil) sejak masa Aurangzeb umumnya berakhlak bejat dan korup, karena dibesarkan dalam suasana kemewahan, atau berkembangnya gaya hidup materialistik dan hedonistik. Para prajuritnya mengalami kemerosotan moral (demoralisasi) dan ketiadaan semangat berjuang”. Kutipan ini membuat pikiran saya langsung tertuju pada keadaan Indonesia saat ini. Ketika itu saya langsung berfikir apakah keadaan Imperium Mughal pada saat itu juga sedang terjadi di Indonesia, saya mencoba mengkorelasikannya.
            Pada saat itu saya berhenti sejenak untuk membaca dan diam mencoba untuk berfikir, pada akhirnya saya mendapatkan jawaban bahwa keadaan Indonesia lebih dari itu. Jika di Imperium Mughal hanya pejabat Negara yang hedon dan materialis, kalau Indonesia gaya hidup seperti itu sudah masuk sampai masyarakatnya. Masalah gaya hidup dan pola pikir hedonis dan materialis ini juga saya tuangkan dalam UTS mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
            Sebenernya banyak apa yang menjadi penyebab gaya hidup hedonis dan materialis ini, tapi saya mencoba beropini sendiri bahwa salah satu penyebabnya adalah sinetron. Saya mulai resah dengan membludaknya tayangan sinetron di televisi, tayangan yang memperlihatkan gaya hidup mewah dan instan. Betapa kita lihat sinteron telah banyak mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat Indonesia, mulai dari remaja, dewasa, maupun anak-anak. Ketika sinetron ditampilkan mulai sore hingga malam di beberapa stasiun televisi, mereka memperlihatkan gaya hidup yang mewah dengan segala fasilitas yang ada, memperlihatkan keadaan hidup yang serba enak ditambah dengan drama percintaannya. Seolah-olah tayangan itu menceritakan kehidupan asli dan mudah untuk didapatkan. Ini menyebabkan pola pikir yang akan bergantung pada kekayaan dan kemewahan.
            Kemudian muncul sebuah gaya hidup yang sudah tidak lagi sesuai dengan fasenya, banyak kemudian anak-anak menyerupai remaja atau dewasa sekalipun, mereka tidak lagi menikmati gaya hidup anak-anak yang senang bermain. Kejadiannya, banyak terlihat anak-anak yang sudah sangat mengutamakan penampilan, akhirnya dunia semakin terasa berbalik dan semakin berubah. Anak-anak bukan lagi layaknya anak kecil dengan baju yang lucu dan tingkah yang polos, mereka berbohong dengan usianya, dunia semakin keluar dari porsi dan fasenya. Miris. Suatu ketika di pagi hari menunggu masuk kuliah terjadi obrolan antara saya dengan teman saya, teman saya bilang bahwa indikator Negara maju itu bukan diukur dengan kemewahan, tapi dengan pola pikir. Negara-negara maju memang terlihat mewah dalam pandangan kita, tapi mereka mencipta bukan mengonsumsi.
            Seni peran harus dihargai dan diapresiasi, tapi dengan memperhatikan persoalan moral dan pengaruhnya untuk penonton. Banyak diskusi dan obrolan tentang media yang lebih mementingkan rating daripada pengaruh baik apa yang bisa dihasilkan. Media khususnya televisi sudah banyak mementingkan keutuhan komersialnya daripada masyarakat sekitar. Barangkali media butuh sebuah perubahan untuk lebih memperhatikan pesan apa yang dapat disampaikan kepada masyarakat luas. Kita harus hati-hati, barangkali Indonesia sedang berada dalam ambang keruntuhan jikalau kita korelasikan dengan apa yang menjadi salah satu penyebab runtuhnya Imperium Mughal sebelum kemudian dijajah oleh Inggris. Mencoba belajar dari sejarah untuk segera memperbaiki keadaan. Coba untuk menyaring era modern ini dengan budaya yang kita punya. Karena sejatinya perkembangan zaman khususnya teknologi bertujuan untuk memudahkan manusia dan merubah kepada keadaan yang lebih baik.


Menolak kemewahan bukan berarti menolak kemajuan, tapi mencoba untuk tidak ketergantungan dengan materi dan kemewahan. Kesuksesan dan kebahagiaan bukan hanya diukur dari kekayaan. Cukup dan tidak keluar batas. 

Comments