FIB UNS BUTUH REVOLUSI

FIB UNS Butuh Revolusi

Kemarin, tepatnya tanggal 8 Oktober saya menyempatkan diri untuk menonton dan mendukung timnas sepakbola FIB UNS dalam acara Olimpiade Sebelas Maret tahun 2017 yang diselenggarakan oleh BEM UNS. Sayangnya kemarin FIB harus kalah lawan Teknik dengan skor 3-0. Ada suatu yang membuat hati dan diri ini tergerak, tergerak untuk ikut andil dalam perjuangan eksistensi FIB. Ini bukan lagi hal kecil, tapi memang sudah diujung tanduk. FIB butuh perubahan.

Menurut saya FIB sudah terlalu terbelakang dengan fakultas lainnya. Masa iya FIB harus lebih terbelakang lagi. Ini bukan soal fasilitas atau sarana dan prasarana fakultas, tapi ini tentang potensi mahasiswa FIB. Bukan hal yang mudah untuk menerima timnas sepakbola FIB harus kalah, terlebih dihina dengan sebutan kampungan. Belum lagi di cabang olahraga voli putra dan putri pun kalah. Hanya tinggal tersisa cabang olahraga badminton dan catur. Bukan hanya soal olahraga, tapi juga soal pemikiran. Dimana BEM FIB yang katanya dulu selama masih FSSR terkenal dengan kuatnya dalam pergerakan dan pemikiran mahasiswa.

Maaf, bukan ingin menjelekan FIB, juga bukan ingin menghiraukan UKM FIB yang ada yang sesuai dengan namanya Fakultas Ilmu Budaya. Tapi toh ternyata olaharaga juga yang menjadikan kita bangga di kancah pertarungan di universitas. Banyak orang bilang bicara tentang BEM bicara tentang advokasi mahasiswa. Adanya event-event seperti OSM ini merupakan salah satu wadah mahasiswa FIB untuk berprestasi. Tidak menutup kemungkinan di bidang lainnya yang memang sudah disediakan dalam UKM FIB.

Cobalah, marilah gerakan komunitas-komunitas olahraga ini. Ingat, orang hebat dilahirkan dengan sebuah proses yang panjang. Karnanya, persiapan untuk event-event seperti OSM bukan hanya dua atau tiga minggu, tapi butuh persiapan yang panjang, kalau perlu selama satu tahun. Grup-grup WA atau Line dalam komunitas seperti sepakbola dan badminton sudah dibentuk, tinggal kepada siapa yang merasa bertanggung jawab harus menggerakkan dengan proses yang panjang. Saya teringat ambisi teman saya di komunitas badminton FIB yang mengatakan “masa FIB mau terbelakang terus, masa FIB mau tertinggal terus, masa FIB mau kalah terus”. Jujur, ini yang membuat hati dan diri ini tergerak.

Saya berbicara tentang eksistensi mahasiswa FIB dalam minat bakat di kancah universitas, tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan adanya BEM hanya berbicara tentang advokasi dan aspirasi mahasiswa dalam bidang seni, budaya, dan olahraga ? saya fikir tidak. Apa sebenarnya yang mendasari lahirnya BEM, dan untuk apa adanya BEM ? jujur ini harus sama-sama kita pahami. Karna apa, BEM bukan hanya berbicara tentang eksistensi tapi juga esensi. Sempat saya baca buku-buku yang membahas tentang eksistensi dan esensi, ini adalah sebuah hal yang rumit. Seperti dalam buku Tugas Cendekiawan Muslim yang ditulis oleh Dr. Ali Syariati dan diterjemahkan oleh Amin Rais, bahwa Islam adalah agama yang paling memanusiakan manusia. Karna apa, karna Islam menjadikan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi, manusia sebagai khalifah. Juga dalam pemikiran marx yang saya baca dalam buku Konsep Manusia Menurut Marx yang ditulis oleh Erich Fromm “ bahwa manusia punya potensi yang harus dikembangkan”. Kemudian juga oleh orang yang banyak menulis tentang eksistensi seperti Jean Paul Sartre juga Paulo Fereire sempat saya baca bukunya.

Lembaga mahasiswa (yang dulu sempat membentuk dan menamakan diri sebagai DEMA) dalam sejarahnya pernah mengalami pembubaran pada tahun 1978 dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Kemudian dalam sumber yang sama, dari tulisan Firman Nugraha, Presiden BEM Unsoed 2013, dijelaskan lembaga mahasiswa kembali ada lagi dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1990 yang dengan SK itu lahirlah SMPT yaitu Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi, yang pada tahun 1998 tepatnya sesudah reformasi , lahir dan banyak dikenal dengan nama Badan Eksekutif Mahasiswa. Dalam keberjalanan mahasiswa dari masa ke masa dengan semnagat idealismenya, pada akhirnya di tahun 1974 mahasiswa membentuk organisasi untuk membendung dan mewadahi pemikiran dan gerakan mahasiswa. Inilah menurut saya yang menjadi sisi ontologis adanya Badan Eksekutif Mahasiswa. Dalam keberjalanannya, sesuai dengan pengaruh lingkungan, budaya, dan kebijakan yang berlaku, BEM terkenal dengan advokasi mahasiswa.

Jika BEM juga berbicara tentang esensi mahasiswa yang pada dasarnya adalah seorang intelektual muda yang sarat dengan dunia literasi. Kepada BEM FIB saya katakan mana diskusinya, mana seruan literasinya, mana seruan tentang penyikapan persoalan-persoalan. Ga usah ribet-ribet, hanya sekedar menggelar tikar dan karpet di halaman parkir atau di depan gedung tiga FIB kemudian serukan mahasiswa untuk datang berdiskusi, saya fikir itu lebih merakyat. Kepada BEM FIB, mana apresiasimu terhadap HMP yang ada di FIB. Sederhana, hanya untuk sekedar menciptakan relasi sehingga terciptanya komunikasi dan silaturahim antar elemen di FIB, sekedar anak-anak BEM terutama presiden dan wakil presiden dikenal oleh sebagian besar mahasiswa FIB. Sederhana, ketika ada acara jurusan, diundang tidak undang sempatkan untuk datang sebentar memberikan apresiasi dan sekedar ngobrol tentang apapun, karna jujur BEM FIB hari ini belum bisa dikatakan merakyat dan dekat dengan mahasiswa. Sederhana juga, ketika bagaimana BEM FIB khususnya presiden dan wakil presidennya secara langsung ikut datang dan mengapresiasi timnas sepakbola, voli, badminton, atau yang lainnya yang sedang ikut lomba. Hal-hal seperti ini tampaknya memang yang sedang dibutuhkan oleh FIB untuk kembali menyatukan seluruh mahasiswa FIB. Jangan Tanya soal massa untuk dukungan kepada yang sedang lomba, itu sudah bukan masalah, banyak dari mereka yang menyempatkan diri datang dan mendukung.

Dalam beberapa literasi yang salah satunya saya baca dari kompasiana yang membuat tulisan tentang BEM FSSR pada tahun 2013 yang sedang melakukan diskusi dengan pemateri mas Muhammad Shiddiq dan mas Tori Nuariza, saya membaca tentang Badan Eksekutif Mahasiswa. Adanya BEM bertujuan untuk advokasi, pelayanan, dan kaderisasi. Mari coba kita sambungkan dengan BEM FIB. Ketika BEM FIB mengadvokasi kebutuhan mahasiswa dari mulai sarana dan prasarana, fasilitas, hobi di bidang seni, budaya, dan olahraga, pastinya pengurus BEM akan berfikir bagaimana seharusnya cara untuk memberikan solusi. Dengan proses berfikirnya itu pengurus BEM juga akan meningkatkan kualitas dirinya. Proses ini merupakan proses yang panjang, bukan hanya dalam hitungan satu atau dua bulan. Saya fikir BEM memang sudah seharusnya melakukan advokasi pelayanan kepada mahasiswa yang dibarengi dengan peningkatan kualitas berfikir pengurusnya.

Kepada BEM FIB, marilah kembali merapatkan barisan, rapatkan kekuatan, bangitkan semangat. Rangkul HMP yang ada di FIB dan buat event-event yang berkaitan dengan mereka. Mencoba bersahabat dengan kawan-kawan UKM dan buat inovasi apresiasi untuk mereka. Gerakan diskusi-diskusi merakyat untuk sama-sama mengembangkan intelektualitas. Ciptakan komunitas-komunitas yang menjadi hobi mahasiswa FIB untuk berprestasi. Karna jangan sampai lagi kita disebut kampungan dan jangan hanya berbicara tentang kuantitas, tapi juga berbicara tentang kualitas mahasiswa di bidang apapun. Saya tahu BEM FIB secara umur belum lama atau bisa dikatakan belum dewasa, tapi ayolah dari sekarang kita kembali gerakkan. Yakinlah eksistensi dan kualitas mahasiswa FIB UNS bisa di rekonstruksi kembali.

Kepada BEM FIB, ini memang berat. Saya membuat tulisan ini dengan keadaan saya yang tidak tergabung didalamnya. Maka jika ingin mengkritik balik dan ingin berdiskusi, bicaralah dan panggilah saya, saya yang akan menghampiri. Karna bagaiamanapun saya telah menggerakkan hati dan diri saya untuk sama-sama berjuang.




FIB UNS butuh REVOLUSI !!!

Comments