SEKILAS TENTANG SEJARAH SOSIAL EKONOMI INDONESIA

Sebelum Eropa memasuki wilayah timur, sistem ekonomi timur dengan perdagangannya sudah berkembang dan berjalan diantara negar-negara timur. Termasuk pada saat itu diantaranya Cina, India, Indonesia, dan Arab merupakan beberapa negara yang tergabung melakukan perdagangan di wilayah timur. Indonesia sendiri memiliki daerah-daerah sebagai emporium (kota dagang) sebagai tempat yang dijadikan transit oleh para pedagang. Malaka sendiri merupakan pelabuhan transito bagi perdagangan dunia, setiap pedagang pasti akan singgah terlebih dahulu di Malaka. Daerah pantai utara Pulau Jawa juga merupakan pelabuhan-pelabuhan penting dalam perdagangan Indonesia.
Mengenai sistem ekonomi dan sumber daya alam yang ada di Indonesia, dalam buku Involusi Pertanian Clifford Geertz menjelaskan bahwa terjadi dua perbedaan dalam sistem perkonomian Indonesia, yaitu daerah Pulau Jawa dengan daerah luar Pulau Jawa. Dalam dua daerah ini dijelaskan bahwa struktur ekonomi di Pulau Jawa adalah sawah dan di daerah luar Pulau Jawa adalah ladang. Ladang dan sawah adalah dua sistem yang paling penting juga merupakan kerangka dimana ekonomi pertanian di Indonesia berkembang.
            Ladang sendiri merupakan lahan pertanian di luar Pulau Jawa dengan ciri suatu sistem serba tanaman yang sangat beraneka ragam jenisnya, peredaran zat makanan antara bentuk-bentuk hidup, arsitektur pelindung-tertutup, dan keseimbangan yang ringkih. Ladang ini juga merupakan pertanian yang cocok dilakukan di luar Pulau Jawa karena memang lahannya yang dipenuhi dengan hutan dan kondisi iklim tropis yang ada di Indonesia. Sedangkan di Pulau Jawa sendiri lahan pertanian merupakan sawah dengan ciri suatu sistem yang sangat khusus, tanaman tunggal dan terbuka, sangat tergantung pada mineral yang dibawa air sebagai makanannya, tergantung pada bangunan air yang dibangun manusia, dan keseimbangan yang stabil. Dalam pertumbuhan penduduknya, Pulau Jawa yang lebih kecil luasnya tetapi lebih cepat pertumbuhan penduduknya sehingga Pulau Jawa memang lebih padat dibandingkan luar Pulau Jawa.
            Kemudian di abad ke-16 Eropa mulai masuk ke wilayah timur khususnya Indonesia dengan menduduki dan menguasai daerah-daerah pelabuhan penting bagi perdagangan timur dan Indonesia. Portugis berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511 dan juga sempat menguasai daerah rempah-rempah Maluku. Setelah Portugis, pedagang Belanda mulai memasuki wilayah Indonesia dengan mendirikan sebuah kongsi dagang swasta yang bernama VOC di tahun 1602. Kalau dilihat dari latar belakang para pedagang Belanda, mereka merupakan para pelancong dan pengangguran Belanda. Di zaman itu Eropa telah menjadi masyarakat industri walaupun di Belanda sendiri belum berkembang industri besar, baru muncul industri-induustri kecil. Di saat zaman industri berkembang, maka akan muncul pelaku industri yang disebut dengan pengusaha atau investor atau produsen. Maka ketika ada pelaku industri, muncul juga non-pelaku industri yang merupakan para pelancong dan pengangguran seperti dijelaskan diatas.
            Akhirnya, para pelancong Belanda ini sepakat bersama-sama berlayar mencari daerah baru, tibalah mereka dan masuk dalam sistem ekonomi timur. Dengan kelebihan kelebihan mereka yang mempunyai senjata, organisasi, dan manajemen akhirnya mereka dapat  menguasai perdagangan ekonomi timur. Berkembanglah apa yang dinamakan dengan kapitalisme perdagangan di Indonesia. VOC menguasai dan mengeksploitasi daerah rempah-rempah dan memonopoli perdagangan disana. Mereka juga menguasai daerah-daerah pelabuhan penting yang ada di Indonesia termasuk pantai utara Pulau Jawa. Dengan latar belakang mereka sebagai pelancong, karenanya mereka datang ke Indonesia dengan membawa karakter buruk atau bad character.
            Jadilah sebuah kongsi dagang swasta dari Negeri Belanda memonopoli perdagangan Indonesia dengan menguasai daerah-daerah pelabuhan penting. Daerah sumber daya alam yang bermanfaat juga berhasil dikuasai oleh VOC hanya saja yang masih cukup bertahan adalah daerah pedalaman Pulau Jawa yang dikuasai oleh Kerajaan Mataram Islam yang dalam perkembangannya terpecah menjadi empat kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran, Kesultanan Yogyakarta, dan Pakualaman. Sumber daya alam pertanian di daerah pedalaman Pulau Jawa masih memakai sistem yang berlaku dalam kerajaan, yaitu tanah dikuasai oleh raja dan terdapat tanah apanage atau  tanah lungguh sebagai upah bagi para bangsawan dan pejabat kerajaan. Tanah-tanah itu diurus oleh petani bekel. Akan tetapi peranan VOC ini sudah mulai mencampuri kerajaan sejak masa kepemimpinan Amangkurat II. Karenanya penguasaan VOC terhadap pesisir atau pantai utara Pulau Jawa dimulai ketika VOC berhasil mengintervensi Kerajaan Mataram Islam ini.
            Kemudian VOC bangkrut di tahun 1798 dan terjadi peralihan kekuasaan daerah jajahan ini kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Sebelum kolonial Belanda menerapkan kebijakannya, sempat terlebih dahulu Inggris yang dipimpin oleh Raffles berkuasa di Indonesia pada tahun 1811-1816. Raffles menerapkan kebijakan sewa tanah terhadap siapa saja yang mampu, maksudnya hendak menjadikan penduduk pribumi juga bisa merasakan kebebasan memiliki tanah dengan sewa. Akan tetapi sama saja tidak terjadi perubahan yang berarti, karna pada dasarnya penduduk pribumi belum siap dan belum mampu untuk menyewa tanah. Akhirnya sistem ini hanya memindahkan kepemilikan dari kerjaan kepada pihak penyewa tanah yang mayoritas bukan dari golongan pribumi. Penduduk peribumi tetap saja menjadi tenaga kerja dengan tuan yang berbeda.
            Setelah berkuasanya Inggris, Pemerintah Kolonial Belanda menjadi penguasa di Indonesia. Belanda tetap mempunyai pengaruh dan campur tangan di dalam Kerajaan, kemudian pada tahun 1825 terjadi peristiwa Perang Jawa atau Perang Diponegoro. Perang ini diakhiri dengan kemenangan Belanda yang menyebabkan pihak kerajaan bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh Perang Jawa ini. Untuk meminta pertanggung jawaban kerugian, Belanda meminta daerah monconegoro Kerajaan Mataram, kemudian daerah monconegoro ini dijadikan oleh Belanda 18 Karesidenan yang dipimpin oleh seorang Residen. Dengan kondisi ekonomi Belanda yang juga sedang terpuruk karena perang Belgia tahun 1831 itu, Pemerintah Kolonial Belanda tidak memiliki modal untuk mengolah lahan monconegoro ini. Pada akhirnya Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan sistem yang kemudian kita kenal dengan nama Cultuurstelsel.
            Cultuurstelsel ini dilakukan untuk menjadikan tanah-tanah monconegoro menghasilkan keuntungan bagi Belanda untuk memulihkan kembali perekonomian Belanda. Dengan kurangnya modal Belanda memanfaatkan tenaga kerja dari penduduk pribumi, para petani tetap menjadi tenaga kerja dengan upah murah. Hukum yang sebelumnya berlaku di tanah monconegoro ini diubah menjadi hukum Eropa dan kepemilikan tanah sepenuhnya milik Pemerintah Kolonial Belanda. Tanaman yang ditanami di tanah monconegoro harus tanaman yang laku dijual di pasaran internasional. Tanah yang digunakan adalah 1/5 untuk tanaman ekspor dan 4/5 untuk tanaman kebutuhan petani, tetapi tanah 4/5 ini para petani juga wajib membayar pajak. Kemudian tenaga kerja dibayar dengan upah yang sudah ditentukan, cultuurstelsel ini tidak diterapkan di luar Pulau Jawa, tidak di daerah Priangan, juga tidak di daerah vorstenlanden. Tanah monconegoro ini menjadi tanah yang menghidupi ekonomi Belanda, penanaman berubah-ubah sesuai dengan apa yang laku di pasaran internasional.
            Dalam sistem cultuurstelsel ini Belanda menerapkan pemerintahan tidak langsung, karena Belanda menciptakan lembaga-lembaga kecil dari pribumi untuk mengawasi dan mengurus berjalannya cultuurtelsel. Dibangun desa-desa dengan dipimpin oleh kepala desa. Bagi mereka yang memiliki jabatan itu merupakan sebuah prestise yang tinggi, tetapi dalam pandangan masyarakat tenaga kerja mereka hanyalah budak kolonial seperti dalam buku Sejarah Pergerakan Nasional Sartono Kartodirdjo. Disamping dengan berjalannya sistem cultuurstelsel ini, pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa juga semakin meningkat sehingga semakin padat. Akan tetapi kebutuhan pangan untuk masyarakat pribumi sendiri tidak sesuai dengan realita pertumbuhan penduduk, karena sawah-sawah pertanian yang ditanami padi berubah menjadi tanaman ekspor yang laku di pasaran internasional. Dalam hal ini tebu ditanami di sawah dimana tempat padi ditanami, walaupun ada tanaman lain seperti kopi dan teh yang harus ditanam di daerah dataran tinggi.

            Untuk tebu sendiri memang mengalami kenaikan produksi setelah tahun 1830, dibanding padi yang mulai menurun produksinya karena tebu memerlukan banyak tenaga kerja dengan volume yang tetap. Oleh karena itu, Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern mengatakan bahwa kebutuhan beras memang sudah tidak memenuhi kebutuhan penduduknya di Pulau Jawa. Keadaan ini membuat kondisi penduduk pribumi tetap dalam kesejahteraan yang belum terpenuhi. Sedangkan di sisi lain lahan-lahan pertanian di Jawa ini menjadi tulang punggung perekonomian Belanda, karenanya bahasa yang dipergunakan oleh Geertz adalah menumpangkan, bahwa Belanda menumpangkan kebutuhan ekonominya di Indonesia. 

Comments