Perhimpunan Indonesia dan Partai Nasional Indonesia dalam Sejarah Pergerakan Indonesia


Pergerakan menuntut kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Pemerintah Hindia Belanda mulai muncul pada awal abad ke-20, pergerakan ini sering disebut dengan pergerakan nasional. Dengan munculnya pergerakan nasional ini, menghapuskan gerakan-gerakan oleh kaum pribumi yang sebelumnya bersifat kedaerahan atau lokal, sehingga belum ada narasi pergerakan menuju negara yang merdeka. Berbeda dengan bentuk pergerakan nasional yang bersifat menyeluruh dengan visi mewujudkan negara yang merdeka lepas dari penjajahan. Lahirnya organisasi-organisasi pergerakan di awal abad 20 sangat berkaitan dengan mulai terdidiknya kaum pribumi, sehingga melahirkan pemikiran untuk melepaskan kehidupan pada waktu itu dari penjajahan. Pergerakan nasional kemudian sering juga disebut sebagai pergerakan modern.

Dalam pergerakan nasional, umumnya terbagi kepada tiga golongan dengan masing-masing ideologi yang menyertainya, sehingga kita kenal dengan golongan Islam yang diawali oleh Sarekat Islam yang nantinya berkembang menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), golongan nasionalis yang diwakili oleh PI (Perhimpunan Indonesia) dan PNI (Partai Nasional Indonesia), serta golongan komunis yang diwakili oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Ketiga golongan ini merupakan golongan yang berjuang menuju kemerdekaan Indonesia bahkan juga mengisi kemerdekaan Indonesia. Dalam tulisan ini, akan dibahas bagaimana kemudian eksistensi dan perjalanan serta pegerakan yang dimainkan oleh golongan nasionalis yaitu PI dan PNI yang dalam buku Jhon Ingleson yang berjudul Jalan ke Pengasingan disebut dengan nasionalis sekuler.

Pegerakan diawali dengan berdirinya organisasi mahasiswa Indonesia yang sedang melanjutkan studi di Belanda yang bernama Indische Vereeniging pada tahun 1908 yang bergerak dalam bidang sosial kebudayaan dimana mahasiswa Indonesia bisa menghabiskan waktu luangnya dengan bertukar pikiran dan bertukar berita dari Indonesia. Kemudian di tahun 1925 organisasi ini mengubah fokus utamanya menjadi organisasi politik dan mengubah namanya menjadi Perhimpunan Indonesia. Dengan diubahnya haluan organisasi, maka mereka membentuk medianya sendiri dengan nama “Indonesia Merdeka” dalam rangka menyalurkan pemikiran mereka tentang Indonesia (Jhon Ingleson, 1988: 2).

Mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia melakukan kegiatan politik dalam rangka membahas bagaimana Indonesia dapat meraih kemerdekaannya, sehingga para alumninya yang telah selesai di Belanda kemudian pulang ke Indonesia tetap melanjutkan perjuangannya dalam rangka pencerdasaan politik masyarakat Indonesia. Mengapa dikatakan pencerdasan politik, karena alumni PI di Indonesia mula-mula membentuk suatu kelompok studi di Bandung pada 29 November 1925 yaitu Kelompok Studi Umum dan di Surabaya Kelompok Studi Indonesia didirikan pada 11 Juli 1924 (Jhon Ingleson, 1988: 21). Diskusi-diskusi dilakukan oleh kelompok diskusi di dua kota tersebut, sehingga pada keberjalanannya tokoh-tokoh kelompok diskusi yang juga tokoh alumni PI ini mencoba menggagas untuk membentuk suatu partai. Selain itu, pergerakan di Indonesia tidak terlepas dari koordinasi dengan mahasiswa PI yang masih berada di Belanda yang dipimpin oleh Hatta.

Bentuk dari ide untuk membentuk suatu partai adalah pertemuan-pertemuan yang dimulai pada awal tahun 1927 yang akhirnya bersepakat untuk membentuk organisasi yang bernama Serikat Ra’yat Nasional Indonesia atau SRNI. Kemudian nama ini di pertengahan 1927 tepatnya 4 Juli 1927 diputuskan secara terbuka menyatakan pembentukan suatu partai yang bernama Perserikatan Nasional Indonesia. Sampai akhir tahun 1927 telah berdiri tiga cabang di Bandung, Batavia, dan Yogyakarta. Cabang Surabaya secara resmi berdiri pada 5 Februari 1928 (Jhon Ingleson, 1988: 36). Kemudian Kongres pertama diselenggarakan pada awal tahun 1928 dengan diadakannya beberapa rapat mengenai Anggaran Dasar dan beberapa hal lainnya. Kongres pertama ini juga menetapkan perubahan nama dari Perserikatan Nasional Indonesia menjadi Partai Nasional Indonesia.

Perjalanan PNI ini diatur dalam dua fase yaitu fase pertama yang merupakan fase konsolidasi partai dan fase kedua yaitu fase pencarian anggota sebagai bentuk implementasi organisasi massa. Setelah itu, di tahun 1928-1929 PNI memainkan pergerakan politik yang disebut dengan agitasi sebagai bentuk dari organisasi yang non-kooperatif, sehingga PNI dianggap radikal oleh Pemerintah Hindia Belanda. Masa-masa itu PNI mulai diawasi oleh pemerintah meskipun Gubernur Jenderal De Graeff adalah gubernur jenderal yang liberal sama seperti van Limburg Stirum yang menjadi gubernur jenderal sebelum De Graeff. Masa agitasi politik ini banyak dimainkan oleh Soekarno yang merupakan tokoh PNI Cabang Bandung. Peran Soekarno dalam PNI adalah sebagai orator yang selalu didengar orasinya oleh seluruh anggota PNI. Dalam hal ini, PNI memiliki Soekarno sebagai orator yang juga merupakan salah satu bentuk propaganda PNI terhadap Pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda sendiri yang dipimpin oleh De Graeff tidak ingin terlalu mengawasi pergerakan yang dilakukan oleh PNI. Sebagai seorang liberal, De Graeff ingin memanfaatkan Volksraad sebagai wadah bertukar pikiran antara organisasi pergerakan dengan pemerintah. Diawal kepemimpinannya, De Graeff juga tidak melakukan pengawasan yang ketat terhadap pergerakan nasional kaum pribumi, karena hal itu dapat menunjukkan bahwa pemerintah memberikan ruang-ruang bagi pribumi untuk berpolitik. Namun, pergerakan dari PNI sudah mulai meresahkan beberapa pemimpin daerah yang mendesak untuk segera dilakukan tindakan tegas kepada PNI beserta tokoh-tokohnya. Keresahan yang dirasakan adalah karena PNI tidak bisa menjaga keamanan serta ketertiban, sehingga beberapa pejabat Eropa menginginkan tindakan tegas dari pemerintah khususnya Gubernur Jenderal.

De Graeff betul-betul mempertimbangkan apa yang harus diperbuat terhadap pergerakan nasional pribumi, karna jika ia melakukan tindakan tegas dengan mengatasnamakan hak pemerintah dan tidak dengan bukti yang kuat, sama saja berlawanan dengan pemikiran serta rencana untuk memperbaiki hubungan dengan kaum nasionalis pribumi. Sampai ia mendapatkan saran dari jaksa agung untuk membawa empat tokoh PNI yaitu Soekarno, Maskun, Gatot Mangkupradja, dan Supriadinata ke pengadilan, karena dengan begitu pemerintah tidak terlihat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap kaum nasionalis pribumi, semua keputusan berada di pengadilan. Pengadilan Kabupaten Bandung pada tanggal 18 Agustus 1930 selesai pada tanggal 29 September yang kemudian pada tanggal 22 Desember pengadilan memutuskan Soekarno dihukum 4 tahun penjara, Gatot 2 tahun, Maskun 20 bulan, dan Supriadinata 15 bulan (Jhon Ingleson, 1988: 153).

Dengan adanya penahanan terhadap 4 tokoh PNI, memberikan tekanan kepada gerakan nasionalis khususnya semua anggota PNI. Mereka mulai takut untuk melakukan aktivitas politik serta takut menjadi anggota PNI, sehingga banyak anggota yang mulai melepas keanggotannya dari PNI. Sartono yang merupakan tokoh PNI cabang Batavia mengambil alih pimpinan pusat PNI dan menetapkan peraturan bahwa jangan ada aktivitas politik di cabang mananpun yang membawa nama PNI sampai pimpinan pusat memberikan instruksi kepada semua cabang. Hal inilah yang membuat perpecahan dalam tubuh PNI. Setelah terjadi penahanan terhadap tokoh PNI, pergerakan dirasa menjadi lemah, takut dengan intervensi yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hatta yang berada di Belanda pun memberikan kritik-kritiknya melalui surat kabar pada waktu itu. Ia mengkritik bahwa PNI seharusnya tidak takut dengan intervensi pemerintah dan harus tetap menjalankan aktivitas politiknya.

Sartono yang mengambil alih pimpinan pusat PNI segera mulai mengorganisir diadakannya Kongres Luar Biasa, dimana dari kongres ini tercipta ide untuk mendirikan sebuah partai baru dan langsung dibuat sebuah panitia pembentukan partai baru. Pada tanggal 1 Mei pantia ini mengumumkan terbentuknya partai yang bernama Partai Indonesia disingkat Partindo dibawah pimpinan sementara Sartono (Jhon Ingleson, 1988: 160). Partindo menganggap dirinya adalah ahli waris dari PNI, sehingga berhak menuntut kesetiaan dari anggota PNI. Maka pada dasarnya Partindo ini adalah PNI dengan nama lain. Beberapa anggota PNI telah masuk dalam keanggotaan Partindo, akan tetapi disamping itu juga ada anggota yang menolak berdirinya partai baru, mereka menginginkan keberanian PNI untuk tetap melakukan aktivitas politiknya.

Orang-orang yang tidak setuju dengan pambentukan Partindo memisahkan diri dan melakukan pergerakan dengan membentuk kelompok-kelompok studi di beberapa daerah. Mereka menamakan diri sebagai golongan merdeka yang mengklaim membawa semangat PNI yang sebenarnya, tidak seperti halnya Sartono yang lemah pergerakannya karna takut intervensi pemerintah. Golongan merdeka yang tersebar di beberapa daerah ini membentuk komite koordinasi yang dinamakan Komite Perikatan Golongan Merdeka dalam rangka penyatuan kelompok golongan merdeka. Dengan komite perikatan ini, golongan merdeka merencanakan membentuk suatu organisasi baru yang menghimpun semua anggota. Akhirnya terciptalah badan baru dengan nama Pendidikan Nasional Indonesia yang segera menyebut dirinya dengan PNI Baru. Organisasi ini mendapat dukungan dari Hatta yang sekembalinya dari Belanda langsung memimpin pergerakan dari PNI Baru. Fokus gerakan PNI Baru pada pendidikan melalui kelompok-kelompok studi.

Gubernur Jenderal De Graeff pada tanggal 4 September mengumumkan bahwa Soekarno akan dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931 setelah menjalani penahanan selama 2 tahun dari yang seharusnya 4 tahun. Tanggal 12 September, 8 hari setelah mengumumkan pembebasan Soekarno, Gubernur Jenderal De Graeff menyerahkan jabatannya kepada Jonkheer Mr. B.C.D. De Jonge. Berbeda dengan De Graeff dan Van Limburg Stirum, De Jonge adalah gubernur jenderal yang konservatif. Dalam kepemimpinannya, ia tidak ingin bekerja sama dengan para kaum nasionalis pribumi, ia akan bertindak tegas terhadap gerakan nasionalis yang mengganggu ketertiban dan keamanan di Hindia Belanda, sehingga intervensi pemerintah lebih keras daripada sebelumnya.

PPPKI yang merupakan organisasi gabungan semua golongan mengundur waktu pelaksanaan kongresnya karena ingin menyambut Soekarno yang telah dibebaskan. Kongres itu dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 1932 dengan nama Kongres Indonesia Raya dalam rangka penyambutan pembebasan Soekarno. Kongres dipadati oleh mereka yang ingin menyambut kedatangan Soekarno yang kemudian langsung memberikan orasinya dihadapan massa yang hadir dalam kongres tersebut. Kongres Indonesia Raya ini berakhir dengan digantinya ketua dari sebelumnya yaitu Sutomo yang digantikan oleh Thamrin. Soekarno juga mengusulkan untuk dilakukannya reorganisasi PPPKI.

Dengan rencana reorganisasi PPPKI, otomatis Soekarno pun ingin melakukan penyatuan terhadap Partindo dan PNI Baru dibawah pengaruh Hatta dan Sjahrir. Akan tetapi, di satu titik Soekarno merasa menemui kegagalan untuk menyatukan Partindo dan PNI Baru karena memang ada suatu perbedaan pemikiran yang mempengaruhi arah gerak dari Partindo dan PNI Baru. Soekarno sendiri memiliki landasan perjuangan adalah perjuangan ras yaitu mengusir ras penjajah Eropa dari Indonesia, sedangkan Hatta dan Sjahrir dalam memimpin gerakan PNI Baru berlandaskan perjuangan kelas. Pada akhirnya, Partindo dan PNI Baru tetap tidak bisa disatukan dan Soekarno masuk Partindo karena dirasa lebih sesuai dengan ideologinya.

Pergerakan Partindo dan PNI Baru terus berlanjut dibawah kepemimpinan Gubernur Jenderal De Jonge yang senantiasa mengawasi dengan ketat setiap pergerakan Partindo dan PNI Baru. Dalam keberjalanannya, mulai muncul slogan baru yaitu Republik Indonesia yang semakin membangkitkan semangat. Slogan ini yang dianggap oleh De Jonge mengancam ketertiban dan keamanan di Hindia Belanda. Akhirnya kaum nasionalis mulai terpukul lagi dengan ditahannya Soekarno yang selanjutnya akan diasingkan ke Endeh, Flores bersama keluarganya. Pada saat ditahan, mental Soekarno mulai lemah dan beberapa kali menyampaikan surat kepada pemerintah bersedia melakukan apa saja asal ia dibebaskan. Hal ini yang kembali di kritik oleh Hatta. Tetapi tidak lama dari penangkapan Soekarno, para tokoh PNI Baru yaitu Hatta, Sjahrir, Maskun, Burhannuddin, Suka, Bondan, dan Marwoto pada tanggal 24 Februari 1934 ditahan dan diasingkan ke Boven Digul. Inilah akhir dari pergerakan PNI Baru. Setelah itu PNI Baru tidak ada lagi meskipun tidak ada pernyataan secara langsung tentang bubarnya PNI Baru. Partindo sendiri menghentikan seluruh aktivitasnya setelah ditahannya Soekarno. Pada bulan November 1936 Sartono mengumumkan pembubaran Partindo.

Inilah gambaran bagaimana perjuangan gerakan nasionalis dengan tujuan membentuk suatu negara merdeka bebas dari penjajahan. Jika dilihat kembali, perjalanan gerakan yang besar yang bisa menghimpun banyak anggota ini berasal dari suatu organisasi kecil bahkan tidak memfokuskan organisasinya kearah politik. Indische Vereeniging yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Indonesia di Belanda pada waktu itu hanya diikuti oleh sebagian kecil dari mahasiswa Indonesia, tetapi ide, gagasan, serta pemikiran yang menuntut kemerdekaan Indonesia dapat membahayakan eksistensi dari Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, percayalah dengan gagasan besar dan jangan pernah takut, karena gerakan besar juga dimulai oleh perkumpulan kecil yang konsisten dengan gagasan besarnya.

Comments