Refleksi Gerakan Mahasiswa


Hari-hari belakangan ini, gerakan mahasiswa yang berporos pada organisasi bernama BEM atau Badan Eksekutif Mahasiswa seringkali mendapat perlawanan dari mahasiswa itu sendiri. Pro kontra terhadap gerakan BEM sangat sering terjadi, memperlihatkan pertentangan antar organisasi atau antar mahasiswa. Perbedaan pemahaman yang fundamental terjadi, kita mengklaim cara kitalah cara terbaik untuk menunaikan tanggung jawab intelektual. BEM sendiri disebut sebagai organisasi pergerakan yang merupakan kelanjutan dari gerakan mahasiswa sebelumnya di zaman orde lama dan orde baru.

            Narasi pemikiran atau landasan bergerak yang dibangun oleh aktivis BEM adalah pergerakan-pergerakan yang ada dalam sejarah, mulai dari angkatan tahun ’66 hingga tahun ’98. Aksi-aksi heroik yang dilakukan menjadi motivasi tersendiri bagi para aktivis BEM. Semangat yang dibangun adalah semangat melanjutkan pergerakan yang sudah sejak dahulu diperjuangkan. Perjuangan atas nama membela rakyat kecil, kaum terpinggirkan, serta orang-orang lemah atau tertindas. Mereka mengkritisi kebijakan yang berlaku yang memperngaruhi aspek sosial ekonomi masyarakat atau mempengaruhi eksistensi negara.

            Sebagai mahasiswa, kita memiliki pertanggung jawaban intelektual yang terumuskan dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Cara penuntasan tanggung jawab inilah yang coba dijawab oleh para aktivis BEM. Mereka bergerak bukan hanya demo, tetapi juga berdiskusi dan menarasikan hasil pemikiran melalui sumber-sumber buku bacaan. Hal ini sudah sepatutnya, karna seperti apa yang dikatakan oleh Bertolt Brecht seorang penyair asal Jerman, bahwa “buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu  bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa, dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional”.

            Saat ini BEM seakan menjadi satu-satunya lembaga atau organisasi yang melek politik, sedangkan yang lainnya fokus dengan kegiatan minat bakat dan anti dengan kebijakan politik. Saat ini seakan hanya BEM  yang menjadi wadah mahasiswa untuk kritis menyikapi kebijakan pemerintah, sedangkan yang lain menjadi acuh terhadap permasalahan yang terjadi. Padahal sebenarnya jika kita lihat lagi esensi dari dinamika kehidupan mahasiswa, dengan latar belakang keilmuan masing-masing, seluruh mahasiswa harus bisa menarasikan pemikirannya dalam menyikapi problematika masyarakat, bangsa, dan negara. Bukan hanya dalam hal besar, tetapi juga dalam hal kecil. Permasalahannya hari ini, hal kecil pun tidak dihiraukan. Permasalahan kecil pun tidak lagi membuat resah.

            Hari ini, BEM bukan lagi murni sebagai organisasi pergerakan seperti halnya gerakan mahasiswa sebelum reformasi. BEM sudah bertransformasi menjadi organisasi yang mengurusi urusan administrasi mahasiswa di kampus. Arah gerak sudah berkembang lebih luas, pertanggung jawaban pun lebih banyak. Pasca reformasi, muncul istilah BEM dan DEMA. Kedua organisasi ini membagi tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Konsep kenegaraan ikut mempengaruhi dunia organisasi mahasiswa. Karenanya, jangan aneh ketika BEM sebagai lembaga eksekutif di kritik oleh mahasiswa itu sendiri, begitupun dengan lembaga legislatifnya.

            Konsep yang dipakai di era reformasi adalah konsep yang sering kita dengar dengan kata “Student Government”, yang berarti secara sederhana pemerintahan mahasiswa. Jika dikatakan begitu, maka BEM dan DEMA layak untuk dikritisi, jangan kaget dan jangan aneh. Hari ini, para aktivis BEM sudah saatnya merefleksikan diri. Mengevaluasi kinerja dan gerak yang terkadang tidak maksimal. Tanggung jawab lebih berat disaat kondisi juga yang tidak lagi memihak dan mendukung gerak dari aktivis BEM. Mengapa ? karena tuntutan lain semakin berat.

            Beberapa kali saya sharing dengan senior yang dulu juga bagian dari aktivis BEM, memang tuntutan administrasi dan perkuliahan hari ini semakin berat. Hal ini menjadikan organisasi mahasiswa tidak lagi laku. Menghabiskan waktu berdiskusi pun tidak lagi menarik bagi mahasiswa. Apalagi harus berpikir keras membantu rakyat terpinggir dan belajar mengkritisi kebijakan. Biaya perkuliahan semakin mahal, batasan waktu lulus semakin pendek, serta jam perkuliahan yang padat seakan menutup ruang mahasiswa mencari pengalaman diluar kelas. Bahkan jika ada dalih bahwa mahasiswa harus fokus belajar pun, mahasiswa tidak lagi kritis mempertanyakan penyampaian dosen. Mereka tidak lagi akrab dengan buku, akhirnya sangat jarang menyempatkan waktu untuk menulis.

            Bagi saya hal ini menjadi bahan refleksi tersendiri bagi mahasiswa. Dinamika kehidupan kampus menjadi lebih berat bagi mereka yang masih semangat berpetualang di kampus. Terus mengembangkan pikiran-pikiran liarnya. Begitupun dengan BEM sebagai organisasi eksekutif mahasiswa, silahkan berintropeksi. Terus kembangkan rasa kepedulian aktivis BEM baik dalam ranah pergerakan maupun ranah advokasi mahasiswa di kampus. Kembali melahirkan jiwa aktivis yang tajam intelektual dan berani bersuara. Kemudian seluruh ormawa pun harus menjadi organisasi yang melek politik, tidak hanya fokus dengan minat bakatnya. Semua ini bukan berarti saya menyeragamkan gerak mahasiswa, tetapi hal mendasar yang seharusnya dipegang oleh mahasiswa tidak boleh hilang.

Comments