Buku
Max Havelaar menjelaskan potret dari kehidupan masyarakat pribumi zaman Hindia
Belanda yang feodal. Masyarakat pribumi merasakan kemiskinan akibat eksploitasi
tenaga kerja oleh Kolonial Belanda yang dibantu oleh pejabat pribumi itu
sendiri. Jabatan untuk orang pribumi menjadi prestise karena mendapatkan
keistimewaan dan kekayaan. Ia menjadi kepanjangan tangan dari Kolonial Belanda,
membantu memuluskan kepentingan Belanda. Akibat dari semua itu yang dirugikan
tetap saja masyarakat pribumi biasa.
Potret
kehidupan Masyarakat Hindia Belanda dalam keadilan pun digambarkan dalam buku
Max Havelaar ini. Dimana tidak ada persamaan dihadapan pengadilan antara
pribumi dengan Eropa dan Asing Timur Tengah. Masyarakat pribumi Hindia Belanda
tetap saja menjadi korban dari semua hegemoni yang ada pada waktu itu. Orang Eropa
atau Belanda itu sendiri mendapatkan keistimewaan di depan hukum.
Dalam
semua potret kehidupan yang digambarkan dalam buku ini, terdapat tokoh yang
menggugat semua pejabat di Hindia Belanda untuk melihat potret kehidupan secara
berbeda. Kemiskinan masyarakat merupakan sebuah masalah yang harus
diselesaikan, bukan malah menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa.
Para
pejabat tidak menjalankan peran dan fungsinya untuk menaikkan derajat rakyat. Mereka
terbelenggu dengan kepentingan mereka sendiri, akhirnya mereka menghegemoni dan
mengeksploitasi masyarakat. Mereka menganggap bahwa menjadi pejabat adalah
untuk memperkaya diri, padahal tokoh yang bernama Max Havelaar ini kehidupannya
sangat sederhana karena sangat mementingkan hidupn orang lain.
Keluarganya
pun seringkali hidup susah karena Max Havelaar mudah sekali membantu orang
lain. Madam Havelaar (istrinya) mengerti terhadap pemikiran dan tindakannya,
walaupun kadangkali mengeluh kepada Max. Berbeda dengan gambaran pejabat di
Hindia Belanda yang malah memiskinkan masyarakat. Dengan cerita tersebut,
Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa buku Max Havelaar merupakan kisah yang
membunuh kolonialisme.
“Hanya ada beberapa keadaan di
dunia materi ini yang tidak memberi kesempatan kepada seorang pemikir untuk
melakukan pengamatan secara cerdas, sehingga aku seringkali bertanya kepada
diriku sendiri apakah banyaknya kesalahan yang sudah kita anggap lumrah,
banyaknya “ketidakadilan” yang kita pikir benar, berasal dari fakta bahwa kita
telah kelamaan duduk dengan teman yang sama di dalam kereta pelancong yang sama”.
Max
Havelaar halaman 107-108.
Comments
Post a Comment