Nalar Kapitalistik dalam Dunia Pendidikan


Refleksi kembali dalam melihat realitas sosial masyarakat, pikiran terus mengalir menilik kembali pada bagaimana sumber daya manusia Indonesia dibangun. Poin utama yang menjadi penting ada pada bagaimana orientasi pendidikan tinggi saat ini. Bahwa proses penyelenggaraan pendidikan dengan berbagai aspek dan konteks yang mengikutinya dirasa semakin menjauhkan diri dari realitas sosial.

Nalar kapitalistik muncul dan menjalar pada setiap sudut kampus. Umumnya, nalar kapitalistik dapat ditandai dengan pemikiran yang bersifat  kuantitatif. Kemudian berakibat banyak pada proses dan dinamika perkuliahannya. Cemas pada angka tanpa melibatkan banyak hal yang bersifat kualitatif dapat mengarahkan diri pada jalan pintas atau sering dikenal dengan cara instan. Pada akhirnya, realitas tersebut menjadi hal yang biasa dan dianggap lumrah.

Kemunculan nalar kapitalistik dimulai sejak beban ekonomi pendidikan hari ini semakin berat. Fenomena ini tak terlepas dari neoliberalisasi dan korporatisasi terhadap institusi pendidikan. Akibatnya bersifat akumulatif dan berpengaruh pada berbagai aspek dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Kita tidak lagi menikmati perkuliahan sembari merespon realitas sosial masyarakat, tetapi dikondisikan untuk bersiap diri dalam persaingan kerja. Kemudian kekhawatiran kuantitas muncul karena penggambaran akan realitas dunia kerja.

Sebab kampus dengan kepentingannya ingin meraih title atau pencapaian dalam standar-standar yang ada, memberikan efek bahwa kampus tidak lagi mengakomodir kegiatan kemahasiswaan yang tidak menguntungkannya. Logika ini mencerminkan bahwa proses pendidikan dianggap sebagai komoditas layaknya perdagangan yang berkutat pada untung dan rugi. Jelasnya, sistem hanya menghargai minat bakat dalam satu aspek dan menyampingkan yang lainnya.

Tak jarang, ktirik terus bermunculan, berdiri sebagai counter narasi atas sistem pendidikan. Akar permasalahan dari orientasi pendidikan hari ini dimulai ketika kebijakan pendidikan tidak lagi berdaulat. Dalam rangka globalisasi, maka muncul standar-standar yang dibuat yang berorientasi pada kompetisi dan diwujudkan dengan sistem pemeringkatan. Pemerintah beserta kampus berusaha keras memenuhi syarat-syarat untuk mencapai standar tersebut.

Ketika diteliti lebih dalam, standar yang diciptakan tersebut tidak lain merupakan kepentingan korporasi dan kapital semata. Pemerintah sebagai institusi negara tidak lagi berdaulat dalam menentukan kebijakan, berada dibawah hegemoni korporasi dan negara lain yang menciptakan standarisasi pemeringkatan tersebut. Kebijakan pendidikan seakan tersandera dengan tawaran gelar yang sering kita kenal dengan World Class University.

Edi Subkhan dalam bukunya Pendidikan Kritis (2016) menjelaskan bahwa realitas sistem pendidikan hari ini merupakan bentuk penjajahan baru dalam ranah pendidikan. Hal ini jelas menunjukkan kepongahan modernisasi yang merupakan paradoks dari berlangsungnya globalisasi. Bahwa standar yang dibuat merupakan upaya penyeragaman terhadap dunia dan merasa bahwa standar yang dibuat merupakan standar terbaik yang harus diikuti.

Kegiatan pendidikan akhirnya bersumber dan menyesuaikan pada kepentingan pasar global. Pendidikan dipandang sebagai komoditas yang menguntungkan bagi kepentingan kapital. Orientasi pendidikan terus melayani kepentingan dunia industri. Syarat-syarat yang harus dipenuhi tak jarang mengubah cara pandang civitas akademikanya menjadi pragmatis. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, cara-cara instan melingkupi pikiran demi suatu pencapaian.

Nalar kapitalistik yang berkembang dalam dunia kampus, hegemoni neoliberalisasi dan koporatisasi kampus, serta standarisasi kepentingan kapital menjadi pertanda terus meluasnya intelektual menara gading. Alih-alih sibuk kuliah kita terus didorong untuk merias dan menghias diri untuk melayani kepentingan industri dengan narasi heroik persaingan global dunia kerja. Tanpa sadar, hal tersebut melahirkan paradoks baru pendidikan dalam konteks realitas sosial masyarakat.

Kita terus disibukkan dengan dinamika kegiatan perkuliahan yang berorientasi untuk mencapai syarat-syarat dalam rangka memenuhi standarisasi pendidikan dunia. Namun, secara jelas fakta tersebut semakin menjauhkan kita dari realitas problematika sosial masyarakat. Para peneliti, intelektual, mahasiswa, civitas akademika, serta birokrat kampus menjadi pintar hanya untuk kepintaran itu sendiri, mengembangkan pengetahuan hanya untuk pengetahuan itu sendiri.

Dispilin ilmu yang digeluti tidak lagi responsif dalam melihat problem sosial masyarakat. Nalar kritis lumpuh hanya karna sibuk menghias diri. Hal ini cukup ironis ketika di sisi lain Paulo Freire dan Antonio Foundez dalam bukunya Belajar Bertanya (1995) melakukan percakapan tentang pengalaman-pengalamannya dalam narasi pembebasan kaum tertindas. Sedang kaum intelektual Indonesia semakin jauh dari masyarakat rentan yang terus berhadapan dengan ketidakpastian hukum.

Edward W. Said cukup memberikan penyadaran tentang hakikat kehidupan seorang intelektual. Bukunya yang berjudul Peran Intelektual (1998) sangat relevan sebagai stimulan bagi realitas kampus yang semakin apatis. Bahwa dengan jelas intelektual selalu dekat dengan masyarakat akar rumput. Memberikan peran sebagai kelompok yang membangun kesadaran masyarakat dan memperkuatnya.

Kini, kiranya sistem serta orientasi pendidikan Indonesia perlu refleksi kembali. Bahwa perlu lagi penyesuaian sistem pendidikan dengan konteks realitas sosial masyarakat Indonesia. Kembali pada pendidikan yang membentuk kesadaran dan dekat dengan realitas sosial masyarakat.

Comments