Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942: Dari Disertasi Hingga Karya Klasik


Menjelang penugasan pembuatan proposal skripsi, seperti pada umumnya mahasiswa tingkat akhir, modal bacaan buku adalah suatu keharusan untuk memperkuat referensi topik. Dari berbagai buku yang saya butuhkan, terdapat satu buku karya Deliar Noer yang sulit untuk dicari. Buku cetakan lama ini sulit ditemukan dalam peredaran toko buku. Selain memang semakin jarang orang mencarinya, buku ini sejak lama sudah tidak diterbitkan lagi.

Kebaruan teori serta analisis praktik dalam ilmu politik merupakan salah satu alasan buku ini sudah jarang dicari. Buku-buku ilmu politik terbaru yang terbit yang secara temporal lebih dekat dengan perkembangan politik kontemporer, lebih banyak menjadi pilihan dalam memperkaya referensi bacaan. Merupakan hal wajar, karena hal tersebut dinilai lebih relevan sebagai acuan dalam perbincangan politik mutakhir.

Secara akademik, sulitnya mencari buku terbitan lama merupakan sebuah pertanda baik. Terbitnya buku-buku baru sebagai karya akademik menandakan tingkat produktifitas dari rangkaian aktifitas akademik itu sendiri. Buku terbitan lama biasanya disimpan dalam perpustakaan sebagai koleksi atau mungkin arsip.

Seperti keterangan di paragraf sebelumnya, walaupun buku yang diserap dari hasil disertasi ini langka dalam peredaran jual beli, saya berhasil menemukannya di perpustakaan kampus. Tentunya, kemungkinan besar buku ini juga tersimpan dengan baik di perpustakaan daerah maupun perpustakaan nasional. Sialnya, saya butuh buku itu untuk jangka waktu panjang – hitung-hitung jadi koleksi pribadi – maka saya bermaksud untuk membelinya. Bukan hanya meminjam dengan jangka waktu yang terbatas.

Buku ini memang karya dalam bidang ilmu politik, akan tetapi mengandung nilai sejarah. Maka saya butuh buku ini untuk menulis skripsi sejarah. Biasanya proses menulis skripsi sejarah membutuhkan kesabaran, harus sering-sering bergaul dengan arsip, majalah, surat kabar, buku terbitan lama, atau dokumen lainnya. Bukan hanya sumber tulisan, berlaku juga untuk sumber lisan. Tak jarang orang bilang bahwa peneliti atau penulis sejarah memiliki kepuasan tersendiri ketika berhasil menemukan sumber yang sesuai dengan keperluan penelitiannya.

Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, merupakan buku yang dialihbahasakan kemudian di terbitkan pada tahun 1980. Buku ini berawal dari disertasi dengan judul The Rise and Development of the Modernist Muslim Movement in Indonesia During The Dutch Colonial Period 1900-1942. Dengan disertasinya ini, Deliar Noer menamatkan pendidikan doktoralnya tahun 1963 di Cornell University, Amerika.

Tahun 1980 diterbitkan oleh Penerbit LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) yang dikenal sebagai salah satu NGO. Menurut laman resminya, LP3ES merupakan lembaga yang didirikan pada tanggal 19 Agustus 1971 atas persetujuan bersama antara Perhimpunan Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (BINEKSOS) yang diwakili Dr. Emil Salim sebagai ketua pengurus dan Friederich Naumann Stiftung atau FNS, suatu yayasan dari Republik Federasi Jerman yang diwakili Dr. D.G.Wilke.

BINEKSOS sendiri didirikan pada 7 Juli 1970 oleh sekelompok cendekiawan dan tokoh masyarakat di Jakarta, yang bergumul di bidang ekonomi dan sosial. Kepengurusan awal diisi oleh Dr. Emil Salim, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Prof. Dr. Ali Wardhana, dan Letnan Jenderal (Mar) Ali Sadikin. Diluar itu, termasuk pula para pakar atau ahli di bidangnya, seperti Prof. Dr. Selo Soemardjan (sosiolog), Prof. Dr. Koentjaraningrat (antropolog), dan Prof. Dr. Taufik Abdullah (sejarawan).

Pada tahun yang sama, LP3ES menerbitkan jurnal bulanan yang bernama Prisma. Melalui penerbitannya, Jurnal Prisma menghimpun ide, gagasan, wacana dan pandangan para ahli, akademisi, praktisi, dan penulis lainnya yang dinarasikan dalam bentuk tulisan. Jurnal Prisma sempat berhenti terbit pada tahun 1999, kemudian mulai terbit kembali sejak tahun 2009 hingga sekarang.

Dalam penjelasan di situsnya, kesadaran kritis atas keadaan sosial, ekonomi, budaya, dan politik dari kalangan intelektual menjadi dasar pelaksanaan kegiatan LP3ES. Sesuai dengan namanya, aktivitas LP3ES berkutat pada penelitian, pendidikan, dan penerangan (penerbitan). Penelitian dibuktikan dengan berbagai luaran riset akademik, yang dilengkapi dengan riset aksi pada lapisan akar rumput, kelompok informal, industri kecil, dan lainnya.

Kegiatan dalam bidang pendidikan biasanya ditunjukkan dengan pengadaan pendidikan dan pelatihan (diklat). Akun youtube LP3ES, sempat memperlihatkan dokumentasi salah satu program diklatnya. Pada awalnya, saya pun hanya mengetahui LP3ES sebagai lembaga penerbitan pada umumnya, baik melalui terbitan lama maupun terbitan baru. Lewat suatu teks asli maupun terjemahan, LP3ES menerbitkan buku.

Kaitannya dengan konteks zaman, LP3ES dapat disebut mewakili lembaga penelitian era Orde Baru. Eksistensinya cukup dikenal dikalangan akademisi, pakar, ahli, mahasiswa, praktisi, dan dunia kampus. Dibawah narasi pembangunan pemerintah, hasil penelitian dan produk keilmuan yang dikeluarkan seringkali memberikan narasi alternatif dari wacana yang terbangun. Maka tak jarang, LP3ES dinilai kritis, terutama melalui terbitan Jurnal Prismanya.

Jurnal Prisma sendiri sempat mendapat peringatan atas karya tulisannya pada tahun 1980an, tepatnya tahun 1983 dan 1987. Pada tahun 1983, peringatan dilayangkan oleh Departemen Penerangan kaitannya dengan rubrik khusus yang mengangkat tokoh-tokoh dalam sejarah. Topik ini menuliskan cerita mengenai tokoh yang memiliki persinggungan dengan pemerintahan dalam sejarah, seperti Amir Syarifuddin, Aidit (tokoh PKI) dan Kartosuwiryo (tokoh DI/TII).

Menariknya, LP3ES sebagai lembaga juga mempunyai sikap yang cukup kooperatif terhadap pemerintahan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan KSIxChange tentang Peran Organisasi Masyarakat Sipil terhadap Produksi Pengetahuan, disamping bersikap kritis, LP3ES juga dinilai modernis. Kerapkali juga mendukung program pemerintah, terutama yang berkaitan dengan UMKM dan ekonomi mikro.

Pasca reformasi, organisasi masyarakat sipil semakin banyak dirintis. Muncul beragam lembaga serupa dengan spesialisasi masing-masing. Belakangan juga didukung dengan merebaknya tren komunitas-komunitas kecil pendampingan sosial masyarakat. Jurnal dan majalah terbitan berkala juga semakin eksis memperbanyak pilihan bacaan. Belakangan jurnal dan majalah ini memanfaatkan perkembangan dunia maya untuk menerbitkan produksinya dalam bentuk online.

Setelah dua kali pergi ke Yogya dengan niat yang sama, yaitu membeli buku Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Alhasil saya berhasil membeli buku ini di salah satu toko buku di Yogya. Terasa lega, walaupun memang bukan buku asli alias repro.

Dikenal sebagai Ilmuwan Politik

Muhammad Zubair – yang kemudian berganti nama menjadi Deliar Noer – Pria keturunan Minang ini lahir di Medan. Orang tuanya berasal dari Pakan Kamih, Tilatang Kamang, Agam, Sumatra Barat. Nur bin Joesof, ayahnya Deliar, bekerja di kantor pegadaian di Medan, Sumatra Utara. Ia lahir tanggal 9 Februari 1926, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Sejak kecil, Deliar dekat dengan pengajaran agama Islam.

Deliar Noer sempat bersekolah di Sekolah Desa Pangkalan susu, Tebing Tinggi, Medan. Belum juga tamat, Deliar Noer harus pindah sekolah ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) Taman Siswa – sekolah tingkat dasar untuk pribumi yang dikelola Taman Siswa. Selulusnya dari HIS Taman Siswa, ia kemudian melanjutkan sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) – Sekolah Menengah Pertama zaman Pemerintah Kolonial Belanda dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.

Semenjak sekolah di MULO, kemudian aktivitas pendidikan Deliar sempat terganggu akibat pengaruh dinamika politik tahun 1940an. Ia sempat melanjutkan sekolah di Tyugakko. Kemudian mendapatkan pengajaran kemiliteran dari orang-orang Jepang. Dan tahun 1945 ia pergi ke Jakarta bersama temannya dengan maksud untuk melanjutkan sekolah. Tak lama, ia malah terjebak dalam situasi revolusi. Hingga kemudian ia sempat menjadi penyiar Radio Republik Indonesia (RRI). Sebelum melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, Deliar Noer sempat bekerja di Departemen Perdagangan RI di Singapura (Biografi Deliar Noer: 26).

Deliar Noer dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mendapat gelar doktoral (Ph.D) di bidang ilmu politik. Ia menamatkan pendidikan S2 dan S3 di Cornell University, Amerika, tahun 1960 dan tahun 1963 dengan mendapat bantuan Rockfeller Foundation. Disertasi Deliar saat menamatkan pendidikannya ini merupakan cikal bakal dari buku Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942.

Dasar atau latar belakang studi lanjut beserta disertasinya diawali oleh penelitian yang ia lakukan pertengahan tahun 1950.  George Kahin, salah satu  pendiri awal Cornell University’s Modern Indonesia Project dibawah naungan Ford Foundation, bertanya kepada Hatta dan Natsir, siapa pemuda Indonesia yang cocok untuk melakukan penelitian dengan topik  “Perkembangan dan Peran Pemikiran Islam Modern di Indonesia” (Audrey Kahin, 2009: 104). Keduanya merekomendasikan nama Deliar Noer. Kemudian Kahin bertemu dengan Deliar di rumah Natsir tahun 1955. Sejak itu Deliar menghabiskan banyak waktunya untuk menuntaskan penelitian tersebut.

Dalam proses penelitiannya, Deliar dibantu oleh Zahara Daulay – yang kemudian menjadi istrinya – dan Abdul Wahab Bakri.   Ia melakukan wawancara dengan para pemimpin gerakan modern Islam abad 20 di Jawa dan Sumatra. Termasuk para pemimpin gerakan islam pasca kemerdekaan. Mereka adalah pemikir dan tokoh politik islam seperti Hamka, Natsir, Roem, Syafruddin Prawiranegara, Hatta dan lainnya.

Proses penelitian dan perkembangan pribadinya sebagai ilmuwan politik juga dipengaruhi oleh aktivitas organisasi dan politiknya. Sekembalinya dari Singapura ke Jakarta, Deliar yang sempat ditolak masuk Akademi Militer melanjutkan studi di Akademi Nasional Fakultas Sosial, Ekonomi, dan Politik – kini dikenal dengan Universitas Nasional atau UNAS. Saat itulah, Deliar aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia menjadi Ketua Umum HMI Cabang Jakarta tahun 1950 dan Ketua Umum PB HMI tahun 1953-1955. Ia kemudian menamatkan studinya di Akademi Nasional tahun 1958.

Pergaulannya dengan banyak tokoh politik waktu itu, khususnya Masyumi, dipengaruhi oleh aktivitasnya di HMI. Menengok konteks zaman itu, HMI memang dikenal dekat dengan Partai Masyumi. Dinamika serta persaingan politik Masyumi sempat mempengaruhi eksistensi HMI itu sendiri (M. Alfian Alfan, 2013). Hingga akhirnya Masyumi dibekukan tahun 1960. Kemudian wacana pendirian kembali muncul pada masa Orde Baru. Tetapi Soeharto tidak menghendakinya. Pada saat yang sama, muncul narasi baru yang dikembangkan Nuscholish Madjid tentang Islam Yes, Partai Islam No. Akibatnya, muncul rasa pesimis di kalangan tokoh Masyumi, karena Nurcholish Madjid dianggap sebagai Natsir Muda yang diharapkan dapat menjawab kelanjutan Partai Masyumi (Remy Madinier, 2013).

Identitasnya sebagai ilmuwan politik lebih melekat, sebab ia juga begitu dekatnya dengan dunia akademik, walaupun terjadi banyak dinamika karena konteks sosial politik. Setelah menyelesaikan studinya di Amerika, ia mengajar di Universitas Sumatra Utara, Medan. Tidak lama mengajar disana, Deliar diminta berhenti. Hal ini karena ia rajin mengkritik Demokrasi Terpimpin dan berselisih paham dengan golongan politik kiri yang diwakili oleh Partai Komunias Indonesia (PKI). Ia dianggap anti-revolusioner, anti-Nasakom, dan anti-Marxism (Audrey Kahin, 2009: 105).

Tahun 1965 ia kembali pergi ke Jakarta. Ia sempat bekerja di Departemen Urusan Riset Nasional. Kemudian ia diajak Miriam Budiarjo (kepala program Ilmu Politik UI) untuk mengajar disana. Di masa transisi Orde Baru, ia diundang untuk ikut seminar di Seskoad yang membahas rencana bentuk pemerintahan selanjutnya. Setelah seminar ini, ia masuk dalam kelompok staf pribadi presiden. Namun tidak lama, sebab ia tidak betah akibat berselisih paham.

Karir akademiknya berlanjut ketika ia menjadi Rektor IKIP Jakarta – sekarang menjadi UNJ – tahun 1967-1974. Dalam beberapa waktu yang sama, Deliar kembali berselisih paham dengan pemerintah. Ia memberikan simpatinya terhadap gerakan mahasiswa tahun 1974 dan memprotes cara pemerintah menghadapi kritik sebagai partisipasi politik. Berkaitan dengan ini, ia beberapa kali dipanggil oleh Syarif Thayeb, Menteri Pendidikan saat itu.

Responnya dalam melihat kondisi politik beserta kritik yang menyertainya, ia sempurnakan dalam naskah pidato pelantikannya sebagai guru besar yang berjudul “Partisipasi dalam Pembangunan” (Audrey Kahin, 2009: 107). Namun, Menteri Pendidikan memutuskan untuk menunda pelantikan tersebut dan meminta Deliar untuk mengundurkan diri. Ia kemudian diberhentikan dari jabatannya sebagai Rektor.

Dari lika-likunya di dunia akademik dalam negeri, setahun setelahnya ia bergabung menjadi peneliti di Australia National University (ANU). Bersamaan dengan itu ia juga menjadi dosen tamu di Grifftih University, Brisbane. Bersama Natsir, ia mendirikan Lembaga Islam untuk Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LIPPM) (Audrey Kahin, 2009: 108).

Deliar Noer juga sempat melakukan aktivitas politik, yaitu ketika mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia bersama Mohammad Hatta. Tahun 1999 ia juga sempat mendirikan Partai Ummat Islam, namun tidak berhasil lolos sebagai peserta pemilu. Pengalamannya di bidang politik praktis, lantas mendapatinya tidak cocok dengan dunia tersebut. Ia kemudian lebih banyak dikenal sebagai salah satu ilmuwan politik Indonesia, walaupun dunia akademik yang dijalaninya juga tidak pula berjalan mulus.

Menilik Kandungan Sumber Sejarah

Mendapati isi bukunya, saya tidak cukup beruntung untuk menilai secara sekilas kelengkapan sumber melalui daftar pustaka. Seperti yang telah jelas diawal tulisan, saya hanya berhasil membeli buku ini dengan kualitas repro. Kualitas cetakannya tidak mampu memanjakan mata pembaca untuk larut dengan isi dan kuat membacanya berjam-jam. Ukuran font kecil dan sebagiannya berbayang. Terlebih, tidak ada batasan yang jelas antara teks dengan catatan kaki.

Walaupun begitu, membaca buku ini membuat saya menjadi sibuk sendiri, mencari data dimana saya dapat menemukan sumber sejarah yang tercantum dalam catatan kakinya. Dibuat penasaran oleh sumber sejarah rasanya tidak kalah penting, bahkan menjadi bagian dalam keutuhan memahami teks. Terlebih bagi saya seorang mahasiswa sejarah, hal ini tak jarang menjadi taktik atau bahkan seni dalam mempermudah saya menambah pengetahuan terhadap sumber sejarah, tak lepas dari kepentingan skripsi saya juga.

Sumber lisan yang didapatnya melalui wawancara, sudah jelas menjadi bagian kuat untuk membuat karya tulis ini. Namun, hal ini juga tidak didapatinya secara menyeluruh. Sebagian lainnya didapat dari dokumen terkait.

Buku-buku terbitan dan karya ilmiah, baik hasil penelitian dari peneliti atau penulis barat maupun dalam negeri mendasarkan karya ini. Beberapa dokumen dan arsip kolonial juga turut melengkapi dalam menjelaskan pembahasan mengenai persinggungan gerakan Islam dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Bagian paling besar, saya mengenal surat kabar islam dan majalah terbitan, salah satunya dari buku ini.

Awalnya, saya mengenal surat kabar islam melalui buku dengan topik serupa, namun fokus pada gerakan politiknya, yaitu “Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926”. Lewat buku ini, saya mengenal surat kabar Islam Bergerak dan Medan Moeslimin, surat kabar yang didirikan oleh H. Misbach sebagai sarana untuk menentang kolonialisme. Tulisan-tulisan H. Misbach dalam dua surat kabar ini juga sudah dikumpulkan dan diterbitkan dalam bentuk buku. Surat kabar Medan Prijaji yang dikenal sebagai pelopor surat kabar di Hindia Belanda juga familiar dalam buku karya Takashi Shiraishi ini.

Berbeda dengan Zaman Bergerak, Buku Gerakan Moderen Islam di Indonesia tidak hanya membahas gerakan politik, namun juga memunculkan apa yang disebutnya gerakan pendidikan dan sosial. Dan secara terang, gerakan ini tidak hanya tumbuh di Jawa, tetapi kemunculannya cukup banyak di wilayah Sumatra Barat.

Umumnya, kelompok pengajaran dan pendidikan agama islam didirikan oleh orang-orang yang melaksanakan ibadah haji. Ketika kembali ke tanah air, kelompok pengajaran dan pendidikan yang didirikannya menjadi salah satu cara yang dipakai untuk menyebarkan agama islam. Ilmu agama yang didapat selama haji disampaikannya melalui tabligh atau ceramah-ceramah dan penerbitan surat kabar serta majalah.

Disini kemudian saya mengenal Al-Munir, Al-Imam, Al-Bayan, sebagai contoh majalah-majalah dari model gerakan pembaharu. Majalah ini mencakup artikel-artikel seputar masalah keagamaan. Ada juga artikel-artikel terjemahan yang diambil dari majalah-majalah di Timur Tengah.

Dalam gerakan politik, sumber surat kabar yang dipakai terbilang banyak. Kutipan surat kabar Bendera Islam, Dunia Islam, Neratja, Oetoesan Hindia, dan surat kabar lainnya cukup menambah referensi pengetahuan sumber sejarah islam awal abad 20.

Penerbitan surat kabar dan majalah awal abad 20, dalam gerakan politik terkenal sebagai simbol pembaharuan dalam penyampaian pemikiran politik. Sebab tulisan-tulisan aktor politik kala itu utamanya sampai pada golongan bangsawan kerajaan dan Pemerintah Kolonial Belanda. Disamping itu, propaganda melalui pidato juga dilakukan kepada golongan pribumi pada umumnya.

Simbol pembaharuan tersebut bukan hanya berlaku untuk gerakan politik, bagi saya juga menjadi bagian penting model baru penyampaian pengajaran dan pendidikan. Majalah-majalah yang terbit oleh kelompok pendidikan dan pengajaran agama islam ini sebagai simbol pembaharuan penyampaian pesan keagamaan. Model ini dapat dikatakan berlanjut hingga hari ini. Kita kenal dengan Suara Muhammadiyah misalnya, majalah yang cukup konsisten hingga hari ini melahirkan berbagai artikel.

Comments