Menjelang
penugasan pembuatan proposal skripsi, seperti pada umumnya mahasiswa tingkat
akhir, modal bacaan buku adalah suatu keharusan untuk memperkuat referensi
topik. Dari berbagai buku yang saya butuhkan, terdapat satu buku karya Deliar
Noer yang sulit untuk dicari. Buku cetakan lama ini sulit ditemukan dalam
peredaran toko buku. Selain memang semakin jarang orang mencarinya, buku ini
sejak lama sudah tidak diterbitkan lagi.
Kebaruan teori serta analisis praktik dalam ilmu politik merupakan salah satu alasan buku ini sudah jarang dicari. Buku-buku ilmu politik terbaru yang terbit yang secara temporal lebih dekat dengan perkembangan politik kontemporer, lebih banyak menjadi pilihan dalam memperkaya referensi bacaan. Merupakan hal wajar, karena hal tersebut dinilai lebih relevan sebagai acuan dalam perbincangan politik mutakhir.
Kebaruan teori serta analisis praktik dalam ilmu politik merupakan salah satu alasan buku ini sudah jarang dicari. Buku-buku ilmu politik terbaru yang terbit yang secara temporal lebih dekat dengan perkembangan politik kontemporer, lebih banyak menjadi pilihan dalam memperkaya referensi bacaan. Merupakan hal wajar, karena hal tersebut dinilai lebih relevan sebagai acuan dalam perbincangan politik mutakhir.
Secara akademik, sulitnya mencari
buku terbitan lama merupakan sebuah pertanda baik. Terbitnya buku-buku baru
sebagai karya akademik menandakan tingkat produktifitas dari rangkaian
aktifitas akademik itu sendiri. Buku terbitan lama biasanya disimpan dalam
perpustakaan sebagai koleksi atau mungkin arsip.
Seperti
keterangan di paragraf sebelumnya, walaupun buku yang diserap dari hasil
disertasi ini langka dalam peredaran jual beli, saya berhasil menemukannya di
perpustakaan kampus. Tentunya, kemungkinan besar buku ini juga tersimpan dengan
baik di perpustakaan daerah maupun perpustakaan nasional. Sialnya, saya butuh
buku itu untuk jangka waktu panjang – hitung-hitung jadi koleksi pribadi – maka
saya bermaksud untuk membelinya. Bukan hanya meminjam dengan jangka waktu yang
terbatas.
Buku
ini memang karya dalam bidang ilmu politik, akan tetapi mengandung nilai
sejarah. Maka saya butuh buku ini untuk menulis skripsi sejarah. Biasanya proses
menulis skripsi sejarah membutuhkan kesabaran, harus sering-sering bergaul
dengan arsip, majalah, surat kabar, buku terbitan lama, atau dokumen lainnya.
Bukan hanya sumber tulisan, berlaku juga untuk sumber lisan. Tak jarang orang
bilang bahwa peneliti atau penulis sejarah memiliki kepuasan tersendiri ketika
berhasil menemukan sumber yang sesuai dengan keperluan penelitiannya.
Gerakan
Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, merupakan buku yang dialihbahasakan
kemudian di terbitkan pada tahun 1980. Buku ini berawal dari disertasi dengan
judul The Rise and Development of the
Modernist Muslim Movement in Indonesia During The Dutch Colonial Period
1900-1942. Dengan disertasinya ini, Deliar Noer menamatkan pendidikan
doktoralnya tahun 1963 di Cornell
University, Amerika.
Tahun
1980 diterbitkan oleh Penerbit LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial) yang dikenal sebagai salah satu NGO. Menurut
laman resminya, LP3ES merupakan lembaga yang didirikan pada tanggal 19 Agustus
1971 atas persetujuan bersama antara Perhimpunan
Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan
Ekonomi dan Sosial (BINEKSOS) yang diwakili Dr. Emil Salim sebagai ketua
pengurus dan Friederich Naumann Stiftung atau FNS, suatu yayasan dari Republik
Federasi Jerman yang diwakili Dr. D.G.Wilke.
BINEKSOS sendiri didirikan pada 7 Juli
1970 oleh sekelompok cendekiawan dan tokoh masyarakat di Jakarta, yang bergumul
di bidang ekonomi dan sosial. Kepengurusan awal diisi oleh Dr. Emil Salim,
Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Prof. Dr. Ali Wardhana, dan Letnan Jenderal
(Mar) Ali Sadikin. Diluar itu, termasuk pula para pakar atau ahli di bidangnya,
seperti Prof. Dr. Selo Soemardjan (sosiolog), Prof. Dr. Koentjaraningrat
(antropolog), dan Prof. Dr. Taufik Abdullah (sejarawan).
Pada tahun yang sama, LP3ES menerbitkan
jurnal bulanan yang bernama Prisma. Melalui penerbitannya, Jurnal Prisma
menghimpun ide, gagasan, wacana dan pandangan para ahli, akademisi, praktisi,
dan penulis lainnya yang dinarasikan dalam bentuk tulisan. Jurnal Prisma sempat
berhenti terbit pada tahun 1999, kemudian mulai terbit kembali sejak tahun 2009
hingga sekarang.
Dalam penjelasan di situsnya, kesadaran
kritis atas keadaan sosial, ekonomi, budaya, dan politik dari kalangan
intelektual menjadi dasar pelaksanaan kegiatan LP3ES. Sesuai dengan namanya,
aktivitas LP3ES berkutat pada penelitian, pendidikan, dan penerangan
(penerbitan). Penelitian dibuktikan dengan berbagai luaran riset akademik, yang
dilengkapi dengan riset aksi pada lapisan akar rumput, kelompok informal,
industri kecil, dan lainnya.
Kegiatan dalam bidang pendidikan
biasanya ditunjukkan dengan pengadaan pendidikan dan pelatihan (diklat). Akun youtube LP3ES, sempat memperlihatkan
dokumentasi salah satu program diklatnya. Pada awalnya, saya pun hanya
mengetahui LP3ES sebagai lembaga penerbitan pada umumnya, baik melalui terbitan
lama maupun terbitan baru. Lewat suatu teks asli maupun terjemahan, LP3ES
menerbitkan buku.
Kaitannya dengan konteks zaman, LP3ES
dapat disebut mewakili lembaga penelitian era Orde Baru. Eksistensinya cukup
dikenal dikalangan akademisi, pakar, ahli, mahasiswa, praktisi, dan dunia
kampus. Dibawah narasi pembangunan pemerintah, hasil penelitian dan produk
keilmuan yang dikeluarkan seringkali memberikan narasi alternatif dari wacana
yang terbangun. Maka tak jarang, LP3ES dinilai kritis, terutama melalui terbitan
Jurnal Prismanya.
Jurnal Prisma sendiri sempat mendapat
peringatan atas karya tulisannya pada tahun 1980an, tepatnya tahun 1983 dan
1987. Pada tahun 1983, peringatan dilayangkan oleh Departemen Penerangan
kaitannya dengan rubrik khusus yang mengangkat tokoh-tokoh dalam sejarah. Topik
ini menuliskan cerita mengenai tokoh yang memiliki persinggungan dengan
pemerintahan dalam sejarah, seperti Amir Syarifuddin, Aidit (tokoh PKI) dan
Kartosuwiryo (tokoh DI/TII).
Menariknya, LP3ES
sebagai lembaga juga mempunyai sikap yang cukup kooperatif terhadap
pemerintahan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan KSIxChange tentang Peran
Organisasi Masyarakat Sipil terhadap Produksi Pengetahuan, disamping bersikap
kritis, LP3ES juga dinilai modernis. Kerapkali juga mendukung program
pemerintah, terutama yang berkaitan dengan UMKM dan ekonomi mikro.
Pasca reformasi, organisasi
masyarakat sipil semakin banyak dirintis. Muncul beragam lembaga serupa dengan
spesialisasi masing-masing. Belakangan juga didukung dengan merebaknya tren
komunitas-komunitas kecil pendampingan sosial masyarakat. Jurnal dan majalah
terbitan berkala juga semakin eksis memperbanyak pilihan bacaan. Belakangan
jurnal dan majalah ini memanfaatkan perkembangan dunia maya untuk menerbitkan
produksinya dalam bentuk online.
Setelah
dua kali pergi ke Yogya dengan niat yang sama, yaitu membeli buku Gerakan
Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Alhasil saya berhasil membeli buku ini di
salah satu toko buku di Yogya. Terasa lega, walaupun memang bukan buku asli
alias repro.
Dikenal sebagai Ilmuwan Politik
Muhammad
Zubair – yang kemudian berganti nama menjadi Deliar Noer – Pria keturunan
Minang ini lahir di Medan. Orang tuanya berasal dari Pakan Kamih, Tilatang
Kamang, Agam, Sumatra Barat. Nur bin Joesof, ayahnya Deliar, bekerja di kantor
pegadaian di Medan, Sumatra Utara. Ia lahir tanggal 9
Februari 1926, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Sejak kecil, Deliar
dekat dengan pengajaran agama Islam.
Deliar Noer sempat bersekolah di
Sekolah Desa Pangkalan susu, Tebing Tinggi, Medan. Belum juga tamat, Deliar
Noer harus pindah sekolah ke HIS (Hollandsch
Inlandsche School) Taman Siswa – sekolah tingkat dasar untuk pribumi yang
dikelola Taman Siswa. Selulusnya dari HIS Taman Siswa, ia kemudian melanjutkan
sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs) – Sekolah Menengah Pertama zaman Pemerintah Kolonial Belanda
dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Semenjak sekolah di MULO, kemudian
aktivitas pendidikan Deliar sempat terganggu akibat pengaruh dinamika politik
tahun 1940an. Ia sempat melanjutkan sekolah di Tyugakko. Kemudian mendapatkan
pengajaran kemiliteran dari orang-orang Jepang. Dan tahun 1945 ia pergi ke
Jakarta bersama temannya dengan maksud untuk melanjutkan sekolah. Tak lama, ia
malah terjebak dalam situasi revolusi. Hingga kemudian ia sempat menjadi
penyiar Radio Republik Indonesia (RRI). Sebelum melanjutkan pendidikan ke
jenjang berikutnya, Deliar Noer sempat bekerja di Departemen Perdagangan RI di
Singapura (Biografi Deliar Noer: 26).
Deliar Noer dikenal sebagai orang
Indonesia pertama yang mendapat gelar doktoral (Ph.D) di bidang ilmu politik.
Ia menamatkan pendidikan S2 dan S3 di Cornell
University, Amerika, tahun 1960 dan tahun 1963 dengan mendapat bantuan Rockfeller Foundation. Disertasi Deliar
saat menamatkan pendidikannya ini merupakan cikal bakal dari buku Gerakan
Moderen Islam di Indonesia 1900-1942.
Dasar atau latar belakang studi
lanjut beserta disertasinya diawali oleh penelitian yang ia lakukan pertengahan
tahun 1950. George Kahin, salah satu pendiri awal Cornell University’s Modern Indonesia Project dibawah naungan Ford Foundation, bertanya kepada Hatta
dan Natsir, siapa pemuda Indonesia yang cocok untuk melakukan penelitian dengan
topik “Perkembangan dan Peran Pemikiran
Islam Modern di Indonesia” (Audrey Kahin, 2009: 104). Keduanya merekomendasikan
nama Deliar Noer. Kemudian Kahin bertemu dengan Deliar di rumah Natsir tahun
1955. Sejak itu Deliar menghabiskan banyak waktunya untuk menuntaskan
penelitian tersebut.
Dalam proses penelitiannya, Deliar
dibantu oleh Zahara Daulay – yang kemudian menjadi istrinya – dan Abdul Wahab
Bakri. Ia melakukan wawancara dengan para pemimpin
gerakan modern Islam abad 20 di Jawa dan Sumatra. Termasuk para pemimpin gerakan
islam pasca kemerdekaan. Mereka adalah pemikir dan tokoh politik islam seperti Hamka,
Natsir, Roem, Syafruddin Prawiranegara, Hatta dan lainnya.
Proses penelitian dan perkembangan
pribadinya sebagai ilmuwan politik juga dipengaruhi oleh aktivitas organisasi
dan politiknya. Sekembalinya dari Singapura ke Jakarta, Deliar yang sempat
ditolak masuk Akademi Militer melanjutkan studi di Akademi Nasional Fakultas
Sosial, Ekonomi, dan Politik – kini dikenal dengan Universitas Nasional atau
UNAS. Saat itulah, Deliar aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia menjadi
Ketua Umum HMI Cabang Jakarta tahun 1950 dan Ketua Umum PB HMI tahun 1953-1955.
Ia kemudian menamatkan studinya di Akademi Nasional tahun 1958.
Pergaulannya dengan banyak tokoh
politik waktu itu, khususnya Masyumi, dipengaruhi oleh aktivitasnya di HMI.
Menengok konteks zaman itu, HMI memang dikenal dekat dengan Partai Masyumi.
Dinamika serta persaingan politik Masyumi sempat mempengaruhi eksistensi HMI
itu sendiri (M. Alfian Alfan, 2013). Hingga akhirnya Masyumi dibekukan tahun
1960. Kemudian wacana pendirian kembali muncul pada masa Orde Baru. Tetapi
Soeharto tidak menghendakinya. Pada saat yang sama, muncul narasi baru yang
dikembangkan Nuscholish Madjid tentang Islam
Yes, Partai Islam No. Akibatnya, muncul rasa pesimis di kalangan tokoh
Masyumi, karena Nurcholish Madjid dianggap sebagai Natsir Muda yang diharapkan
dapat menjawab kelanjutan Partai Masyumi (Remy Madinier, 2013).
Identitasnya sebagai ilmuwan politik
lebih melekat, sebab ia juga begitu dekatnya dengan dunia akademik, walaupun
terjadi banyak dinamika karena konteks sosial politik. Setelah menyelesaikan
studinya di Amerika, ia mengajar di Universitas Sumatra Utara, Medan. Tidak
lama mengajar disana, Deliar diminta berhenti. Hal ini karena ia rajin
mengkritik Demokrasi Terpimpin dan berselisih paham dengan golongan politik
kiri yang diwakili oleh Partai Komunias Indonesia (PKI). Ia dianggap
anti-revolusioner, anti-Nasakom, dan anti-Marxism (Audrey Kahin, 2009: 105).
Tahun 1965 ia kembali pergi ke
Jakarta. Ia sempat bekerja di Departemen Urusan Riset Nasional. Kemudian ia
diajak Miriam Budiarjo (kepala program Ilmu Politik UI) untuk mengajar disana. Di
masa transisi Orde Baru, ia diundang untuk ikut seminar di Seskoad yang
membahas rencana bentuk pemerintahan selanjutnya. Setelah seminar ini, ia masuk
dalam kelompok staf pribadi presiden. Namun tidak lama, sebab ia tidak betah
akibat berselisih paham.
Karir akademiknya berlanjut ketika
ia menjadi Rektor IKIP Jakarta – sekarang menjadi UNJ – tahun 1967-1974. Dalam
beberapa waktu yang sama, Deliar kembali berselisih paham dengan pemerintah. Ia
memberikan simpatinya terhadap gerakan mahasiswa tahun 1974 dan memprotes cara
pemerintah menghadapi kritik sebagai partisipasi politik. Berkaitan dengan ini,
ia beberapa kali dipanggil oleh Syarif Thayeb, Menteri Pendidikan saat itu.
Responnya dalam melihat kondisi
politik beserta kritik yang menyertainya, ia sempurnakan dalam naskah pidato pelantikannya
sebagai guru besar yang berjudul “Partisipasi dalam Pembangunan” (Audrey Kahin,
2009: 107). Namun, Menteri Pendidikan memutuskan untuk menunda pelantikan
tersebut dan meminta Deliar untuk mengundurkan diri. Ia kemudian diberhentikan
dari jabatannya sebagai Rektor.
Dari lika-likunya di dunia akademik
dalam negeri, setahun setelahnya ia bergabung menjadi peneliti di Australia National University (ANU).
Bersamaan dengan itu ia juga menjadi dosen tamu di Grifftih University, Brisbane. Bersama Natsir, ia mendirikan
Lembaga Islam untuk Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LIPPM) (Audrey Kahin,
2009: 108).
Deliar Noer juga sempat melakukan
aktivitas politik, yaitu ketika mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia
bersama Mohammad Hatta. Tahun 1999 ia juga sempat mendirikan Partai Ummat
Islam, namun tidak berhasil lolos sebagai peserta pemilu. Pengalamannya di
bidang politik praktis, lantas mendapatinya tidak cocok dengan dunia tersebut. Ia
kemudian lebih banyak dikenal sebagai salah satu ilmuwan politik Indonesia,
walaupun dunia akademik yang dijalaninya juga tidak pula berjalan mulus.
Menilik Kandungan Sumber Sejarah
Mendapati
isi bukunya, saya tidak cukup beruntung untuk menilai secara sekilas kelengkapan
sumber melalui daftar pustaka. Seperti yang telah jelas diawal tulisan, saya
hanya berhasil membeli buku ini dengan kualitas repro. Kualitas cetakannya
tidak mampu memanjakan mata pembaca untuk larut dengan isi dan kuat membacanya berjam-jam.
Ukuran font kecil dan sebagiannya berbayang. Terlebih, tidak ada batasan yang
jelas antara teks dengan catatan kaki.
Walaupun begitu, membaca buku ini
membuat saya menjadi sibuk sendiri, mencari data dimana saya dapat menemukan
sumber sejarah yang tercantum dalam catatan kakinya. Dibuat penasaran oleh
sumber sejarah rasanya tidak kalah penting, bahkan menjadi bagian dalam
keutuhan memahami teks. Terlebih bagi saya seorang mahasiswa sejarah, hal ini
tak jarang menjadi taktik atau bahkan seni dalam mempermudah saya menambah
pengetahuan terhadap sumber sejarah, tak lepas dari kepentingan skripsi saya
juga.
Sumber lisan yang didapatnya melalui
wawancara, sudah jelas menjadi bagian kuat untuk membuat karya tulis ini.
Namun, hal ini juga tidak didapatinya secara menyeluruh. Sebagian lainnya
didapat dari dokumen terkait.
Buku-buku
terbitan dan karya ilmiah, baik hasil penelitian dari peneliti atau penulis
barat maupun dalam negeri mendasarkan karya ini. Beberapa dokumen dan arsip
kolonial juga turut melengkapi dalam menjelaskan pembahasan mengenai
persinggungan gerakan Islam dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Bagian paling
besar, saya mengenal surat kabar islam dan majalah terbitan, salah satunya dari
buku ini.
Awalnya,
saya mengenal surat kabar islam melalui buku dengan topik serupa, namun fokus
pada gerakan politiknya, yaitu “Zaman
Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926”. Lewat buku ini, saya
mengenal surat kabar Islam Bergerak dan
Medan Moeslimin, surat kabar yang
didirikan oleh H. Misbach sebagai sarana untuk menentang kolonialisme.
Tulisan-tulisan H. Misbach dalam dua surat kabar ini juga sudah dikumpulkan dan
diterbitkan dalam bentuk buku. Surat kabar Medan
Prijaji yang dikenal sebagai pelopor surat kabar di Hindia Belanda juga
familiar dalam buku karya Takashi Shiraishi ini.
Berbeda
dengan Zaman Bergerak, Buku Gerakan Moderen Islam di Indonesia tidak hanya
membahas gerakan politik, namun juga memunculkan apa yang disebutnya gerakan
pendidikan dan sosial. Dan secara terang, gerakan ini tidak hanya tumbuh di Jawa,
tetapi kemunculannya cukup banyak di wilayah Sumatra Barat.
Umumnya,
kelompok pengajaran dan pendidikan agama islam didirikan oleh orang-orang yang
melaksanakan ibadah haji. Ketika kembali ke tanah air, kelompok pengajaran dan
pendidikan yang didirikannya menjadi salah satu cara yang dipakai untuk
menyebarkan agama islam. Ilmu agama yang didapat selama haji disampaikannya
melalui tabligh atau ceramah-ceramah
dan penerbitan surat kabar serta majalah.
Disini
kemudian saya mengenal Al-Munir, Al-Imam, Al-Bayan, sebagai contoh majalah-majalah dari model gerakan
pembaharu. Majalah ini mencakup artikel-artikel seputar masalah keagamaan. Ada
juga artikel-artikel terjemahan yang diambil dari majalah-majalah di Timur
Tengah.
Dalam
gerakan politik, sumber surat kabar yang dipakai terbilang banyak. Kutipan
surat kabar Bendera Islam, Dunia Islam,
Neratja, Oetoesan Hindia, dan surat kabar lainnya cukup menambah referensi
pengetahuan sumber sejarah islam awal abad 20.
Penerbitan
surat kabar dan majalah awal abad 20, dalam gerakan politik terkenal sebagai
simbol pembaharuan dalam penyampaian pemikiran politik. Sebab tulisan-tulisan
aktor politik kala itu utamanya sampai pada golongan bangsawan kerajaan dan
Pemerintah Kolonial Belanda. Disamping itu, propaganda melalui pidato juga
dilakukan kepada golongan pribumi pada umumnya.
Simbol
pembaharuan tersebut bukan hanya berlaku untuk gerakan politik, bagi saya juga
menjadi bagian penting model baru penyampaian pengajaran dan pendidikan.
Majalah-majalah yang terbit oleh kelompok pendidikan dan pengajaran agama islam
ini sebagai simbol pembaharuan penyampaian pesan keagamaan. Model ini dapat
dikatakan berlanjut hingga hari ini. Kita kenal dengan Suara Muhammadiyah misalnya, majalah yang cukup konsisten hingga
hari ini melahirkan berbagai artikel.
Comments
Post a Comment