Masih
dalam masa tahanan, Mochtar Lubis, seorang jurnalis Harian Indonesia Raya, menulis naskah tulisan yang telah diterbitkan
menjadi novel, dan kini dikenal dengan judul Senja di Jakarta.
Pendiri
Majalah Horizon yang juga pendiri
Lembaga Penerbitan Buku Yayasan Obor
Indonesia ini mengilustrasikan tiga ekosistem kehidupan yang tumbuh di
Jakarta.
Saya
meyakini, sejak lama novel ini telah menjadi bahan diskusi dalam kaitannya
dengan stuktur sosial politik, terutama di kota-kota besar.
Untuk
memahami isinya, rasanya tak begitu repot untuk menempatkan pikiran pada tahun
dimana novel ini ditulis. Mengimajinasikan Jakarta tahun 1957, persis ketika
naskah novel ini selesai ditulis.
Cukup
saja menyengaja pergi ke Jakarta hari ini, melihat sekitaran pemukiman di sudut
Kota, akan kita dapati kehidupan rakyat kecil disana.
Atau
tak perlu repot di sudut kota, sedikit saja kita bergeser dari kawasan dengan
gedung-gedung tinggi, tak lama akan kita dapati pemukiman dengan gang-gang
sempit, rumah berdempetan, dan jejeran pakaian yang tengah di jemur di beranda
rumah.
“Gua udah lapar, Tam,”Kata
Saimun pada Itam. “Satu kali lagi, lantas
kita ambil gajian. Nunggu gajian kita bisa makan dulu sama Ibu Yom.”
“Ingat makan, badan gua rasanya
jadi lemas, habis tenaga,” kata Saimun, perutnya yang kosong
bertambah kosong. Begitulah gambaran sulitnya mendapatkan penghasilan dua kuli
pengangkut sampah.
Kesulitan
ekonomi tak lantas rampung setelah mereka mendapat gaji. Lingkaran hutang "kasbon" sana sini mengikis hampir separuh gaji yang mereka terima. Kemudian
mereka berhitung supaya sisa gaji "bersih" yang ada di tangan dapat mencukupi
kebutuhan sampai mereka kembali menerima gaji.
Mochtar
Lubis kemudian mencoba mengkomparasikan kontrasnya kehidupan rakyat kecil dengan
kehidupan elit ibukota. Tepatnya, dalam novel ini Mochtar Lubis
mengilustrasikan "dapur" dibalik keberjalanan partai politik. Cerita ini
melibatkan pimpinan partai, pengusaha yang juga anggota partai, seorang pimpinan
media, dan keluarga anggota partai.
Raden
Kaslan, Direktur NV “Bumi Ayu”, anggota Partai Indonesia menutup pintu kantor
di rumahnya, dan berpaling pada tamunya, Husin Limbara, Ketua Partai Indonesia,
begitulah awal dari pertemuan tertutup menyoal kebutuhan keuangan partai
menjelang pemilihan umum.
Raden
Kaslan secara otomatis sudah menduga maksud kedatangan ketua partainya itu,
tidak jauh dari perkara keuangan partai. Ia sudah ancang-ancang dan membuat
patokan, berapa uang yang akan dikasihkannya pada partai.
Namun
lebih dari itu, ia tidak hanya dimintai uang secara cuma-cuma. Ia ditugaskan
untuk mengurus kebutuhan uang partai dengan membuat organisasi dagang. Rencana
ini diestimasikan dalam waktu enam bulan. Raden Kaslan yang biasanya menyumbang
uang secara cuma-cuma, kini dibalik penugasannya, akan mendapatkan bagian
keuntungan.
Pertemuan
tersebut cukup singkat. Raden Kaslan hanya menjelaskan tentang rencananya
merambah sektor impor guna memenuhi kebutuhan uang partai dengan cepat. Setelah
mendapatkan kesepakatan soal pembagian keuntungan dan siapa saja yang akan ikut
terlibat, Husin Limbara menjawab pertanyaan Raden Kaslan tentang resiko.
“Ah, perkara resiko, saudara jangan takut.
Menteri-menteri kita akan melindungi”, ucap Husin Limbara menenangkan
anggota partainya tersebut.
Kali
ini Mochtar Lubis mengilustrasikan rencana buruk dalam relasi politik di
Indonesia. Kursi-kursi menteri yang diduduki para anggota partai politik
dimanfaatkan untuk memuluskan agendanya.
Pada
bagian ini, agaknya Mochtar Lubis tidak berhenti hanya mengkomparasikan dua
kehidupan ibukota yang begitu kontras, tetapi juga mengajak pembaca menaruh
curiga pada setiap fenomena politik. Bahwa apa yang nampak dari politikus
sejatinya bukanlah apa yang benar-benar terjadi.
Sebagai
seorang jurnalis, kecurigaan Mochtar Lubis merupakan kecurigaan mendasar. Apa
yang terjadi pada "dapur" partai politik atau sekelompok politikus, dilihatnya
melalui aktivitas peliputan dan investigasi.
Sepulangnya
Husin Limbara dari ruangan kantornya, lantas istri muda dan anaknya diajak
untuk ikut rencana partai. Suryono yang sempat bimbang akhirnya memilih ikut.
“Partai-partai lain demikian juga
kelakuannya” pikirnya, “mengapa tidak
aku kerjakan pula?” ungkap Suryono, anak Raden Kaslan, yang juga salah
seorang anggota pertemuan rutin, mewajarkan pilihannya ikut rencana partai.
Ungkapan
tersebut juga mewakili realitas politik hari ini. Praktik penguasaan jabatan
karena faktor relasi partai politik menjadi cerita yang tak ada habisnya. Fenomena
politik yang memenuhi ruang-ruang publik kita merupakan tanda dari struktur
politik yang tidak banyak berubah.
Diantara
dua bagian cerita diatas, bagian cerita yang ketiga cukup membuat saya curiga.
Sepertinya Mochtar Lubis sedang menuliskan dirinya sendiri. Cerita ketiga ini sejenis
cerita tentang tradisi intelektual yang tumbuh di kelompok golongan menengah.
“Apa arti demokrasi bagi Bangsa
Indonesia sekarang?” Tanya Akhmad, “itu suara kaum borjuis yang hendak terus menguasai massa rakyat yang
bodoh dan melarat. Apa keadaan sekarang demokrasi? Apa parlemen sementara
demokratis? Apa bangsa kita sudah bisa menjalankan demokrasi? Jawablah secara
jujur!” Nada perdebatan mulai meninggi.
Suatu
kumpulan beranggotakan enam orang membuat pertemuan rutin. Penulis esai,
pemimpin buruh, penyair, dan sisanya pegawai muda pemerintahan. Topik
pembahasan mengalir dimulai dari pengalaman pribadi. Kemudian menjadi panjang
ketika yang lain menimpali dan saling berbalas argumen.
Bagian
cerita ini menggambarkan suatu bentuk optimisme dan pesismisme sekaligus. Optimisme
ditunjukkan dengan terjadinya dialog. Nada tinggi yang bercampur emosi menjadi
simbol, bahwa mereka menikmati setiap pertemuannya. Pesimisme ditunjukkan
ketika salah seorang diantara mereka dibingungkan dengan diskusi tanpa ujung.
Tak lain ialah Suryono, anak Raden kaslan yang ikut terlibat dalam permainan
politik bapaknya.
“Suryono melihat berkeliling, dan
timbul heran dalam hatinya, apa semua kawan-kawannya itu yakin apa yang mereka
perkatakan itu, dan bahwa apa yang mereka lakukan memang bermanfaat bagi
bangsa.”
Untuk
menutup ulasan ini, sepenggal ungkapan diawal cerita dapat menggambarkan isi
novel secara umum.
Seakan mungkin penghidupan manusia
itu ditutup dalam kotak-kotak, dan sebuah penghidupan yang telah ditutup dalam
sebuah kotak tinggallah dalam kotak itu, dan tidak ada hubungannya lagi dengan
hidup lain dalam kotak lain. Semuanya seakan telah asing saja, dan orang tidak
ada hubungannya apa-apa lagi dengan dirinya dalam kotak hidup yang lain itu. Begitu
Mochtar Lubis mengawali Senja di Jakarta.
Comments
Post a Comment