Nama Politikus di Sejumlah Perusahaan Ekspor Benih Lobster: Struktur Politik yang Tidak Berubah

 


Dibukanya aktivitas ekspor benih lobster melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 menimbulkan pro kontra. Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya, Susi Pudjiastuti pun buka suara melalui akun media sosialnya. Ia mempertanyakan kebijakan tersebut, karena pada eranya aktivitas ekspor benih lobster dilarang melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016.

Sesuai dengan Permen KKP Nomor 56 Tahun 2016, larangan aktivitas ekspor benih lobster pada masa Menteri Susi berkaitan dengan upaya menjaga keberadaan dan ketersediaan populasi sumber daya lobster, kepiting, dan rajungan. Turunannya, dijelaskan pada ketentuan yang diatur dalam pasal 2 permen tersebut, bahwa penangkapan dan/atau pengeluaran lobster dilakukan tidak dalam kondisi bertelur dan ukuran panjang karapas diatas 8 cm atau berat diatas 200 gram per ekor. Kemudian pasal 7 dengan jelas melarang setiap orang menjual benih lobster untuk budidaya.

            Tak hanya Susi, komentar perihal ekspor benih lobster juga muncul dari pengamat. Dikutip dari katadata.co.id, dalam rentang tahun 2010-2016 sekitar 96,91% produksi lobster Indonesia bersumber dari perikanan tangkap dan 3,09% dari budidaya. Ketersediaan pakan dinilai menjadi salah satu penyebab sedikitnya budidaya lobster. Pencarian pakan melalui sumber lain justru berpotensi menyebabkan konflik baru antar nelayan. Sehingga proses alam menjadi pilihan. Kebijakan dibolehkannya ekspor benih lobster juga bukanlah kebijakan prioritas dalam bidang perikanan dan kelautan.

            Melalui laman tirto.id, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) juga melontarkan kritiknya terhadap kebijakan ekspor benih lobster. KIARA menilai kebijakan tersebut terlampau pro investor, eksportir, dan importir yang dikhawatirkan merugikan nelayan dan negara. Sekjen KIARA, Susan Herawati dalam laman yang sama mengatakan izin ekspor benih lobster akan mendorong eksploitasi sumber daya perikanan di pusat-pusat penangkapan dan budidaya lobster.

             Dalam sejumlah media, Edhy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan yang juga politikus Partai Gerindra menjawab berbagai komentar dan kritik terhadapnya. Ia mengklaim sudah dengan matang mempersiapkan kebijakan beserta Peraturan Menteri yang mengaturnya. Ia pun menambahkan bahwa kebijakannya sudah melalui proses kajian mendalam oleh para ahli.

            Dibalik pro kontra dan perdebatan mengenai kebijakan ekspor benih lobster dalam kaitannya dengan perikanan dan budidaya, masalah lain yang tak kalah penting timbul. Melalui laporan Majalah Tempo Edisi tanggal 4 Juli lalu, pasca ditetapkannya Permen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nomor 12 Tahun 2020 tanggal 5 Mei, muncul daftar 30 calon perusahaan yang akan mengantongi izin ekspor.

            Terbitnya izin ekspor pada sejumlah perusahaan dinilai menyimpan kejanggalan. Dalam dua sampai tiga bulan terakhir, terus bermunculan perusahaan ekspor benih lobster. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Kemeterian Kelautan dan Perikanan itu sendiri. Ribut soal izin perusahaan ekspor semakin kencang ketika ditemukannya sejumlah nama politikus masuk jajaran perusahaan, terutama didominasi oleh politikus Partai Gerindra.

            Berdasarkan catatan laporan Majalah Tempo, perusahaan ekspor benih lobster tersebar di beberapa daerah diantaranya, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan Sumatera Utara. Sejumlah nama politikus yang masuk dalam jajaran perusahaan seperti PT Bima Sakti Mutiara, dimana Hashim Sujono Djojohadikusumo sebagai komisaris (adik Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto) dan anaknya, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menjabat sebagai direktur utama.

            Dikutip dari sumber yang sama, PT Maradeka Karya Semesta diisi oleh Iwan Darmawan Aras, Wakil Ketua Komisi Infrastruktur DPR Fraksi Partai Gerindra sebagai komisaris utama, dan Eka Sastra sebagai komisaris (anggota Komisi Perindustrian DPR 2014-2019 Fraksi Partai Golkar). PT Agro Industri Nasional, melibatkan sejumlah politikus dan lingkarannya sekaligus, Sakti Wahyu Trenggono yang merupakan Wakil Menteri Pertahanan terlibat sebagai komisaris utama. Disusul dengan nama Sugiono (Wakil Ketua Umum Gerindra) dan Sudaryono (Wakil Sekretaris Jenderal Gerindra) yang masuk dalam jajaran komisaris.

            Sejumlah nama lain yang merupakan anggota Partai Gerindra masuk dalam jajaran PT Agro Industri Nasional, diantaranya Rauf Purnama sebagai direktur utama, Dirgayuza Setiawan, Harryadin Mahardika, serta Simon Aloysius Mantiri dalam jajaran direktur. Politikus lain seperti Fahri Hamzah yang merupakan Wakil Ketua Umum Partai Gelora, merupakan pemegang saham PT Nusa Tenggara Budidaya.

Fenomena ini menambah cerita panjang pemanfaatan kekuasaan kursi menteri oleh para elit partai politik di Indonesia. Ketika ditarik kebelakang, dalam beberapa kali terpilihnya presiden, nalar publik terkonstruksi pada polarisasi jatah partai dalam kursi menteri. Partai apa mendapat kursi apa, dan menciptakan lingkaran keuntungan didalamnya.

Jauh sebelum ini, Moctar Lubis, seorang jurnalis Harian Indonesia Raya, sejak tahun 1957, mengilustrasikan kondisi sosial politik Jakarta melalui novelnya yang berjudul Senja di Jakarta. Seorang pendiri Majalah Horizon yang juga pendiri Lembaga Penerbitan Buku Yayasan Obor Indonesia ini menulis novelnya yang terbit di Indonesia tahun 1970 dari balik jeruji tahanan. Ilustrasi Mochtar Lubis mencerminkan kondisi politik yang tidak banyak berubah.

Senja di Jakarta

Raden Kaslan, Direktur NV “Bumi Ayu”, anggota Partai Indonesia menutup pintu kantor di rumahnya, dan berpaling pada tamunya, Husin Limbara, Ketua Partai Indonesia”, begitulah sepenggal awal cerita bagian ketiga Novel Senja di Jakarta.

            Di kantor di rumah Raden Kaslan, seorang pengusaha yang juga kader salah satu partai itulah dimulai percakapan tentang kebutuhan uang partai menjelang Pemilihan Umum. Raden Kaslan, yang ditunjuk untuk mengatur rencana tersebut, menjelaskan kepada ketua partainya tentang sektor impor sebagai sektor perekonomian yang mudah dan cepat menghasilkan uang.

            Rencana tersebut kemudian dilakukan dengan membuat NV-NV – istilah bahasa Belanda yang dipakai untuk menyebut perusahaan dagang – kosong, dengan mencantumkan nama orang-orang terdekat sebagai direktur atau pimpinannya. Istri muda dan anaknya otomatis ikut terlibat guna mendorong lancarnya rencana partai.

Ah, perkara resiko, saudara jangan takut. Menteri-menteri kita akan melindungi”, ucap Husin Limbara disela percakapan.

            Kutipan diatas menjadi tanda keuntungan partai menyoal penguasaan kursi menteri kabinet pemerintahan. Seolah menenangkan, kalimat dan ungkapan lain yang serupa terlihat begitu natural terjadi dalam relasi politik. Penguasaan jabatan kementerian menjadi barang yang dapat diotak-atik guna memenuhi agenda partai.

            Jika kita tengok sekilas, cerita dalam Novel Senja di Jakarta setidaknya mengantarkan pikiran untuk menaruh curiga pada laporan Majalah Tempo Edisi tanggal 4 Juli tersebut. Partai Gerindra mendominasi terlibatnya sejumlah politikus dalam perusahaan ekspor benih lobster. Hal ini tak terlepas dari Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang juga merupakan politikus Partai berlambang burung tersebut.

            Klarifikasi, dalih, ataupun pernyataan yang nampak dari para politikus ketika dimintai keterangan oleh jurnalis Tempo, tidak secara otomatis menghapuskan kecurigaan publik tentang adanya drama dibaliknya. Bisa jadi, dalam beberapa waktu kedepan, drama dibalik pernyataan Menteri Edhy, bahwa semua perusahaan harus mengikuti prosedur yang diatur tak terkecuali orang-orang partainya, akan terungkap.

            Fenomena jenis ini seakan bukan lagi perkara baru. Karena itu, sekuat-kuatnya dalih dan klarifikasi, tidak mampu menahan spekulasi publik. Meskipun belum ada data yang membuktikan terjadinya kemudahan akses - khususnya urusan bisnis - akibat relasi politik, uraian Senja di Jakarta sedikitnya membantu kita membaca dapur dibaliknya.

Sejak tahun 1957, ketika novel ini selesai ditulis, semasa menjalani tahanan rumah, Mochtar Lubis menguraikan situasi sosial politik di Jakarta dalam beberapa dimensi yang berbeda. Sebagai seorang jurnalis, ekspresi pikirannya seakan tak dapat dibatasi oleh terbatasnya kondisinya sebagai tahanan rumah. Meskipun secara eksplisit uraian cerita dalam Senja di Jakarta bukanlah sebuah fakta yang pernah terjadi, namun pikiran Mochtar Lubis merupakan imajinasi yang wajar sebagai seorang jurnalis. Melalui pengalaman peliputan dan investigasi, terutama pada dinamika politik yang nampak, menaruh curiga adanya drama politik yang terjadi dibaliknya adalah kecurigaan mendasar.

 Partai-partai lain demikian juga kelakuannya” pikirnya, “mengapa tidak aku kerjakan pula?” ungkapan pikiran Suryono, anak Raden Kaslan, yang mewajarkan pilihannya ikut rencana partai.

            Kasus yang terjadi dalam Kementerian Kelautan dan Perikanan yang melibatkan sejumlah politikus serta menyeret nama Partai Gerindra sebagai partai yang mendominasi, tak lain merupakan bagian dari konglomerasi perpolitikan Indonesia. Lembaga pemerintahan dengan tanggung jawab publik dimanfaatkan untuk memuluskan agenda dan rencana partai. Sejumlah kasus serupa seperti garam dan gula yang melibatkan politikus serta partainya tentu tak luput dari ingatan.

Rente dalam Politik Indonesia

            Nama lain yang menggambarkan fenomena politik yang terus terjadi ini dikenal dengan istilah “rente”. Nalar Politik Rente, sebuah buku yang ditulis oleh Dahnil Anzar Simanjuntak, yang kini menjadi juru bicara Kementerian Pertahanan, mengenalkan relasi antara perburuan rente dengan partai politik. Pengurus partai yang memiliki jabatan-jabatan penting bertugas sebagai mesin penggerak jalannya “rente” mulai dari legislatif hingga eksekutif, dan dari pusat hingga daerah.

            Teori lain yang diungkapkan Ed Aspinall dalam buku Demokrasi dalam Genggaman Para Pemburu Rente, yang diterbitkan PolGov FISIPOL UGM, menyebut hal ini dengan “ironi keberhasilan”. Sebuah situasi ketika para aktor dominan bisa menggunakan akomodasi untuk mendominasi institusi demokrasi sekaligus menggunakan sumber daya dan posisi yang dimilikinya, guna mendapatkan keuntungan pribadi, termasuk memelihara patronase dan klientelisme serta melakukan korupsi atas aset-aset publik.

            Jurnal Wacana Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UNPAD, dalam salah satu judulnya Pola Relasi Bisnis dan Politik di Indonesia Masa Reformasi: Kasus Rent Seeking, menguraikan praktik rent seeking sebagai perilaku yang berusaha menerapkan praktik monopoli terhadap sumber daya dan praktik melobi pemerintah/penguasa dalam upaya mendapatkan perlindungan, konsesi, serta mendapatkan hak guna sumber daya tersebut.

Dalam panjangnya rantai cerita pemanfaatan lembaga pemerintahan untuk kepentingan agenda partai atau kelompok, kecurigaan publik muncul sebagai ekspresi natural, melihat fenomena yang tak banyak berubah. Sikap skeptis publik pada apa yang nampak merupakan simbol bahwa publik tidak mudah dibohongi, menaruh curiga pada apa yang terjadi dibaliknya. Maka, bukan hanya pada kasus Kementerian Kelautan dan Perikanan, tapi memang struktur politik kita yang tidak banyak berubah.

Comments