Sang ayah merupakan sosok
penting yang mempengaruhi perkembangan pemikiran Syafruddin Prawiranegara.
Hubungan emosional dengan sang ayah berada setingkat lebih tinggi dari
pengembaraan intelektualnya.
Pada
Maret 1939, Syafruddin mendapati ayahnya meninggal di Kediri. Saat itu
Syafruddin masih dalam proses menamatkan pendidikan tinggi. Momen inilah yang
menjadi momen penting bagi perkembangan pribadi dan pemikiran Syafruddin hingga
akhir hayatnya. Sosok pribadi sang ayah begitu dekat di hati Syafruddin,
setingkat lebih tinggi dari perjalanan pemikiran dan pengalamannya.
Hubungan
ayah anak antara Syafruddin dan Raden Arsjad Prawiraatmadja sempat terpisah.
Faktor jarak menyebabkan keduanya tidak bersama selama sekitar 12 tahun.
Hubungan mereka dekat semasa Syafruddin kecil hingga Raden Arsjad
dipindahtugaskan ke Ngawi tahun 1924. Syafruddin ikut pindah ke Ngawi dan
melanjutkan sekolah ELS disana. Sejak lanjut di MULO, Syafruddin terpisah jarak
beberapa kota. Syafruddin bersekolah di MULO Madiun dan Raden Arsjad bertugas
di Ngawi.
Keterpisahan
jarak tersebut terus berlanjut hingga Syafruddin melanjutkan pendidikan AMS di
Bandung, kemudian RHS di Jakarta. Suatu hal yang memang biasa terjadi pada masa
itu. Namun Syafruddin mempertegas kemesraan hubungan dengan ayahnya lewat
kenangan yang dikumpulkannya tentang sosok pribadi sang ayah.
Tahun
1938, sewaktu libur Syafruddin sebenarnya sempat berkunjung ke rumah dan
bertemu dengan sang ayah. Tak disangka kepulangannya tersebut ternyata
merupakan pertemuan terakhirnya dengan sang ayah. Raden Arsjad meninggal
selepas tampil menyampaikan pidato di Kediri dalam pertemuan Perkumpulan
Pegawai-Pegawai Pangreh Praja Bumi Putera atau PPPB pada Maret 1939.
Kabar
mendadak kematian ayahnya mengejutkan Syafruddin. Tersimpan setitik rasa tak
percaya akan keadaan tersebut. Diusianya yang masih terbilang muda 49 tahun,
mengapa begitu cepat sang ayah harus meninggalkannya. Syafruddin tidak sempat
pula melihat jasad sang ayah bahkan menguburkannya.
Namun
rasa sedihnya dilampiaskan dengan menghidupkan kembali sosok sang ayah melalui
perantara M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, seorang Patih Gresik, Ketua PPPB.
Tempat Raden Arsjad juga aktif menjadi anggota organisasi tersebut, terakhir
kali pula Raden Arsjad meninggalkan jejak pribadinya.
Raden
Arsjad Prawiraatmadja diangkat menjadi pegawai pemerintahan sejak usia 19
tahun, tahun 1909, setamatnya dari OSVIA di Bandung. Saat itu ia menjadi juru
tulis di Kantor Kabupaten. Setahun kemudian ia diangkat menjadi asisten wedana
atau camat di Anyar Kidul, termasuk Kawedanan Anyar, Kabupaten Serang,
Karesidenan Banten.
Pergantian
posisi dan jabatan dialaminya selama menjabat di Banten. Ia dipindahtugaskan
menjadi mantri kabupaten di Serang. Kemudian diangkat kembali menjadi Camat
Muncang, termasuk dalam wilayah Kabupaten Lebak, Banten Selatan. Setelah itu ia
dipindahkan lagi dengan jabatan yang sama ke Pasauran, kemudian ke Kadugedong
dekat dengan wilayah Pandeglang. Tahun 1921 ia diangkat menjadi jaksa di Kabupaten
Serang.
Pada
tahun 1924, tepat 15 tahun sejak pertama kali diangkat sebagai pegawai
pemerintahan, Raden Arsjad dipindahtugaskan ke Jawa Timur. Ia ditempatkan di
Ngawi, kemudian diangkat menjadi Sekretaris Kabupaten Ponorogo dan dipindahkan
ke Blitar dengan jabatan yang sama.
Sebab
kepindahannya ke Jawa Timur tak lepas dari ketakutan Belanda. Gerakan rakyat
semakin meluas dan semakin mendapatkan simpati. Beberapa peristiwa yang
dianggapnya berbahaya atas kelangsungan pemerintahan kolonial memaksa mereka
bereaksi. Kalangan pegawai pemerintah yang aktif memimpin gerakan rakyat harus
menanggung akibatnya.
Tak
terkecuali Raden Arsjad. Ia tercatat aktif menjadi pengurus Sarekat Islam
Cabang Serang. Kala itu SI Cabang Serang dipimpin oleh Raden Hasan Djajadiningrat,
adik seorang Bupati Banten Raden Aria Adipati Achmad Djajadiningrat. Di tahun
yang sama dengan kepindahan Raden Arsjad ke Ngawi, sang Bupati Banten itu pun
dipindahtugaskan ke Jakarta.
Saat
di Banten, tempatnya kerja berpindah-pindah bukan tanpa sebab. Raden Arsjad
dikenal sebagai priyayi yang ‘nakal’ dihadapan Belanda. Terhadap kontrolir ia
menampilkan diri sebagai orang yang setara. Sebagai konsekuensi ide modern dan
kemajuan berpikir yang sebenarnya dibawa oleh koloni itu sendiri.
Dikutip
dari Syafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT (Ajip Rosidi,
2011) beberapa contoh peristiwa unik hubungan antara Raden Arsjad dengan
kontrolirnya terjadi. Karena mahir berbahasa Belanda, Raden Arsjad selalu
bercakap menggunakan Bahasa tersebut. Sebagai simbol kesetaraan antara dirinya
dengan pegawai Belanda. Sebab lain juga karena ia merasa kesal terhadap
penggunaan Bahasa Sunda si kontrolir yang tidak memperhatikan unsur undak
usuk basa dalam Bahasa Sunda.
Suatu
hari ia kedatangan sang kontrolir untuk melakukan inspeksi. Setelah
mempersilakan sang kontrolir duduk, ia pun duduk pada kursi yang lain, yang
menimbulkan keanehan bagi sang kontrolir. Seharusnya pegawai pribumi duduk
bersila dibawah. Kemudian puncaknya adalah ketika sang kontrolir merendahkannya
oleh sebab ia memiliki alat potret. Kepemilikan barang yang dianggap tidak
wajar bagi pribumi. Hal tersebut mengakibatkan keributan diantara keduanya,
Raden Arsjad membela haknya di hadapan sang kontrolir.
Sebagai
seorang priyayi baru di usia muda Raden Arsjad tidak bisa lepas dari kebiasaan
para priyayi tinggi. Mereka gemar melaksanakan pesta ramah tamah yang disebut
dengan tayuban. Suatu kebiasaan di kalangan priyayi tinggi pemerintahan
sebagai simbol kemewahan kepriyayian mereka. Layaknya pesta ramah tamah yang
juga masih sering dilakukan pejabat pemerintahan era sekarang sekelas dirjen
beserta jajarannya.
Untuk
memperjelas simbol kesetaraannya dihadapan Belanda, Raden Arsjad tampil
menggunakan busana Eropa. Ditengah ketentuan seragam untuk tingkatan priyayi
tertentu yang memakai pakaian ‘tradisional’ dengan kain jas bukaan dan penutup
kepala yang disebut udeng atau bendo serta penutup kaki selop,
Raden Arsjad lebih senang berseragam jas dan celana dengan topi helm dan sepatu
pantopel pada kakinya.
Begitulah
Raden Arsjad, meninggal selepas berpidato dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an,
yang menjadi ciri khas pergaulan organisasinya di kalangan priyayi lain.
Seorang priyayi keturunan bangsawan Banten yang taat menjalankan syariat agama,
berpendidikan priyayi OSVIA, tapi juga tak bisa lepas dari kebiasaan tayuban.
Aktif bergaul dalam organisasi kepriyayian sekaligus menunjukkan simpatinya
pada gerakan rakyat. Bersikap nakal dan tampil sama dihadapan Belanda, sebagai
simbol kesetaraan dan kemajuan seorang priyayi.
Syafruddin
memahami sosok pribadi sang ayah sebagai seorang priyayi yang tidak lepas dari
identitas keIslaman dan identitas pribuminya, ditengah kebiasaan-kebiasaan yang
melekat. Sosok ‘nakal’ yang mempertegas konsekuensi ide-ide modern, simbol
kesetaraan dan kemajuan yang diperlihatkan priyayi pribumi kepada pegawai
Belanda.
Comments
Post a Comment