Syafruddin Prawiranegara Memilih Masyumi

 


Sumber: Mingguan Siasat, 4 Januari 1947, Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Syafruddin Prawiranegara memilih Masyumi sebagai representasi politiknya. Salah satu faktor kuat yang mempengaruhinya adalah hubungan emosional dengan sang ayah.

Adalah Ridwan Saidi, yang mengabadikan pengalamannya membaca langsung makalah pidato Syafruddin Prawiranegara saat hendak tampil memberikan ceramahnya di Ruang Cafetaria Salemba 4 Jakarta, pada 5 Agustus 1973. Saat itu Babe Ridwan masih aktif dalam organisasi kemahasiswaan HMI, di usianya yang ke-31. Setahun setelahnya, Babe Ridwan terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI.

Maklumat pemerintah 3 November 1945 menandai pengesahan berdirinya partai politik. Syafruddin Prawiranegara yang duduk sebagai anggota BP-KNIP juga diharuskan ikut menentukan representasi politiknya. Dalam proses tersebut Syafruddin kemudian memilih bergabung dengan Partai Masyumi.

Namun latar belakang politik Syafruddin sebagai salah seorang tokoh Masyumi berbeda dengan tokoh sentral Masyumi lainnya. Sebagian besar tokoh Masyumi adalah orang-orang yang tumbuh bersama dalam lingkungan organisasi pergerakan dan kepemudaan, sedangkan Syafruddin hampir tidak ditemukan jejak pergaulannya dengan mereka.

Sewaktu menamatkan pendidikan sekolah menengah, selama rentang tahun 1920 hingga 1940-an, Syafruddin menggemari dunia sastra. Satu minat dan keinginan yang tidak tercapai kala Syafruddin hendak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Karena Faculteit der Letteren atau Fakultas Sastra baru didirikan tahun 1941.

Syafruddin gemar bersentuhan dengan karya-karya kesusastraan Eropa saat itu, seperti Robinson Crusoe karya Daniel Defoe dan buku-buku lainnya karya Charles Dickens. Seperti dikutip dalam Syafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT (Ajip Rosidi, 2011), selain karena langganan surat kabar berbahasa Belanda milik ayahnya, kegemaran Syafruddin membaca karya-karya sastra Eropa mempengaruhi pula kemampuannya dalam berbahasa Belanda.

Memasuki usia pendidikan tinggi di Recht Hoge School, Syafruddin aktif dalam  Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI), yaitu Suatu perkumpulan organisasi non politik yang sebagian besar kegiatannya berfokus pada pendalam studi. Diketahui, sebagian besar anggota USI kemudian tampil sebagai tokoh politik PSI.

Pergaulannya dengan USI menghantarkan dirinya memiliki hubungan dekat dengan Sjahrir dan kalangan sosialis lainnya. Hubungan ini terus berlanjut hingga Syafruddin menyelesaikan studi di RHS, bahkan hingga Syafruddin ikut terlibat dalam politik pemerintahan di tahun awal pasca proklamasi.

Namun kedekatan dengan Sjahrir dan kalangan PSI lainnya tidak membuat Syafruddin kemudian memilih PSI sebagai representasi politiknya. Ia cenderung untuk memilih Masyumi oleh sebab hubungan emosional dengan sang ayah. Selain perkembangan alami yang dijalaninya, meninggalnya sang ayah pada Maret 1939 juga menjadi momen penting yang mempengaruhi pemikirannya.

Syafruddin akhirnya memilih bergabung dengan Masyumi. Ia kemudian tampil sebagai teknokrat ekonomi asal Partai Masyumi yang banyak terlibat dalam perdebatan wacana pemikiran dan kebijakan ekonomi sepanjang tahun 1950-an. Sejak bergabung dengan Masyumi, pemikiran dan kecenderungannya semakin mengkristal.

Pasca bebas dari tahanan politik PRRI tahun 1966, Syafruddin (begitupun kalangan tokoh Masyumi lainnya) lebih banyak aktif dalam organisasi sosial keagamaan. Ia memimpin organisasi dakwah Korps Mubaligh Indonesia (KMI) dan menggerakkan perkumpulan pengusaha muslim dalam Himpunan Usahawan Muslim Indonesia (Husami).

Mengenang Pribadi Sang Ayah

Ayah Syafruddin bernama Raden Arsjad Prawiraatmadja, seorang priyayi pegawai pemerintahan keturunan bangsawan Banten. Ia dikenal sebagai seorang religius di lingkungan para priyayi. Pribadinya juga dikisahkan sebagai orang yang begitu mengedepankan praktik kesetaraan antara priyayi pribumi dengan pejabat pemerintahan Belanda.

Sikapnya tersebut terjadi ketika ia masih bertugas di Banten. Ia tampil sebagai pribadi modern di hadapan seorang kontrolir Belanda. Ketika berinteraksi dengan pejabat Belanda tersebut ia selalu bercakap menggunakan bahasa Belanda, duduk sama tinggi, dan mengenakan pakaian Eropa.

Raden Arsjad meninggal pada Maret 1939 di usia yang cukup muda, 49 tahun. Ia meninggal selepas memberikan pidato di Kediri dalam pertemuan Perkumpulan Pegawai-Pegawai Pangreh Praja Bumi Putera atau PPPB sembari mengutip ayat Al-Qur’an. Syafruddin sendiri tidak sempat melihat jasad sang ayah dan mengantarkan jasadnya ke pemakaman.

Kabar duka ini mendorong Syafruddin untuk mengenal sosok ayah lebih dekat dan memahami pribadinya. Syafruddin mengenangnya melalui perantara M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, orang yang dikenal sebagai sahabat Raden Arsjad. Ia adalah seorang Patih Gresik yang juga Ketua PPPB, organisasi tempat Raden Arsjad terakhir kali menghembuskan nafas.

Hubungan ayah anak antara Syafruddin dan Raden Arsjad tidak begitu dekat. Faktor jarak menyebabkan keduanya tidak bersama selama sekitar 12 tahun. Hubungan mereka dekat semasa Syafruddin kecil hingga Raden Arsjad dipindahtugaskan ke Ngawi tahun 1924. Syafruddin ikut pindah ke Ngawi dan melanjutkan sekolah ELS disana.

Sejak lanjut di MULO, Syafruddin terpisah jarak beberapa kota. Syafruddin bersekolah di MULO Madiun dan Raden Arsjad bertugas di Ngawi. Keterpisahan jarak tersebut terus berlanjut hingga Syafruddin melanjutkan pendidikan AMS di Bandung dan kemudian RHS di Jakarta.

Karir priyayi Raden Arsjad dimulai sejak usia 19 tahun. Ia diangkat menjadi pegawai pemerintahan tahun 1909 setamatnya dari OSVIA di Bandung. Saat itu ia menjadi juru tulis di Kantor Kabupaten. Setahun kemudian ia diangkat menjadi asisten wedana atau camat di Anyar Kidul, Kawedanan Anyar, Kabupaten Serang, Karesidenan Banten.

Pergantian posisi dan jabatan dialaminya selama menjabat di Banten. Ia dipindahtugaskan menjadi mantri kabupaten di Serang. Kemudian diangkat kembali menjadi Camat Muncang, di wilayah Kabupaten Lebak, Banten Selatan. Setelah itu ia dipindahkan lagi dengan jabatan yang sama ke Pasauran, kemudian ke Kadugedong dekat dengan wilayah Pandeglang. Tahun 1921 ia diangkat menjadi jaksa di Kabupaten Serang.

Pada tahun 1924, tepat 15 tahun sejak pertama kali diangkat sebagai pegawai pemerintahan, Raden Arsjad dipindahtugaskan ke Jawa Timur. Ia ditempatkan di Ngawi, kemudian diangkat menjadi Sekretaris Kabupaten Ponorogo dan dipindahkan ke Blitar dengan jabatan yang sama.

Sebab kepindahannya ke Jawa Timur tak lepas dari ketakutan Belanda. Gerakan rakyat semakin meluas dan semakin mendapatkan simpati. Beberapa peristiwa yang dianggapnya berbahaya atas kelangsungan pemerintahan kolonial memaksa mereka bereaksi. Kalangan pegawai pemerintah yang aktif memimpin gerakan rakyat harus menanggung akibatnya.

Tak terkecuali Raden Arsjad. Ia tercatat aktif menjadi pengurus Sarekat Islam Cabang Serang. Kala itu SI Cabang Serang dipimpin oleh Raden Hasan Djajadiningrat, adik seorang Bupati Banten Raden Aria Adipati Achmad Djajadiningrat. Di tahun yang sama dengan kepindahan Raden Arsjad ke Ngawi, Bupati Banten itu pun dipindahtugaskan ke Jakarta.

Begitulah Raden Arsjad, meninggal selepas berpidato dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an. Seorang priyayi keturunan bangsawan Banten yang taat menjalankan syariat agama, berpendidikan priyayi OSVIA, tapi juga tak bisa lepas dari kebiasaan tayuban. Aktif bergaul dalam organisasi kepriyayian sekaligus menunjukkan simpatinya pada gerakan rakyat, serta priyayi modern yang tampil layaknya para pejabat pemerintahan Belanda.

Kedekatan dengan Sjahrir dan Kalangan Sosialis

Selama menjalani masa pendidikan tinggi di Recht Hoge School atau RHS Syafruddin aktif dalam Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI). Suatu perkumpulan organisasi non politik yang sebagian besar kegiatannya berfokus pada pendalam studi. Syafruddin cukup aktif dalam organisasi tersebut hingga pada tahun 1942 ia diangkat sebagai anggota kehormatannya.

Pergaulan USI menghantarkan hubungan kedekatan Syafruddin dengan Sjahrir berikut para anak didiknya. Lewat USI Syafruddin berkenalan dengan kalangan sosialis yang di kemudian hari menjadi anggota maupun simpatisan PSI. Pegaulan Syafruddin di USI begitu hangat, dan USI pun memiliki andil dalam awal mula keterlibatan Syafruddin dalam politik pemerintahan.

Setamatnya dari RHS, Syafruddin bekerja sebagai administratur Perikatan Perkumpulan-perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK). Perkumpulan tersebut diketuai oleh M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, teman baik ayahnya yang juga menjadi perantara Syafruddin mengenang sang ayah. Syafruddin sekaligus dipercaya merangkap sebagai redaktur Soeara Timoer yang merupakan majalah terbitan PPRK.

Setahun kemudian, tahun 1940, Syafruddin bekerja di bawah Departemen van Financien Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Syafruddin ditempatkan sebagai pegawai di Kantor Inspeksi Pajak di Kediri. Pada masa Jepang Syafruddin diangkat menjadi kepala kantor tersebut.

Beberapa hari pasca proklamasi, Syafruddin pindah ke Bandung. Setelah terbentuknya pemerintahan, KNIP membentuk badan-badan daerahnya. Syafruddin kemudian terlibat dalam KNI daerah Priangan yang diketuai oleh Ir. Oekar Bratakoesoemah. KNIP kemudian berubah menjadi lembaga legislative seiring dengan berubahnya sistem pemerintahan menjadi parlementer. Syafruddin ikut terpilih menjadi anggota BP-KNIP berkat dukungan dari teman-temannya dari kalangan sosialis USI, dimana saat itu ketua BP-KNIP pun adalah Sjahrir.

Dalam wawancaranya dengan Majalah Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES), yang telah diterbitkan pula dalam buku Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an, Syafruddin mengisahkan pengalamannya menjadi anggota kelompok Sjahrir. Ketika di Bandung hubungannya dengan kalangan sosialis USI semakin erat. Lewat teman-temannya itu, di Bandung pula ia mulai berkenalan secara langsung dengan Sjahrir.

Salah satu bukti kedekatan Syafruddin dengan Sjahrir adalah ketika Syafruddin diminta oleh Sjahrir untuk memegang jabatan Menteri Keuangan di Kabinet pertamanya tahun 1946. Saat itu Syafruddin menolak karena merasa belum siap untuk mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut. Kemudian barulah pada Kabinet Sjahrir kedua Syafruddin bersedia duduk sebagai Menteri Muda Keuangan.

Saat dimana Syafruddin mengawali keterlibatannya dalam politik pemerintahan dan bergabung dengan partai politik boleh jadi adalah periode yang menentukan bagaimana sosok pribadinya kemudian di gelanggang perpolitikan nasional. PSI dan Masyumi memang merupakan dua pilihan yang sangat merepresentasikan dirinya, dilihat dari latar belakang pergaulan intelektualnya dan hubungan emosional dengan sang ayah.

Namun akhirnya Syafruddin memilih Masyumi untuk melanjutkan sisi religius sang ayah. Pergaulannya dengan kalangan tokoh Masyumi semakin mendorong keinginan dirinya mendalami Islam dengan lebih serius. Dalam gelanggang perpolitikan nasional ia tampil sebagai seorang teknokrat asal Partai Masyumi yang diakhir masa hidupnya semakin banyak terlibat dalam dinamika pemikiran Islam.

“Hingga akhir hayatnya pemikiran ideologis Syafruddin semakin mengkristal dari sebuah proses panjang pengembaraan intelektual dan hubungan emosionalnya”, begitu kenang Ridwan Saidi dalam goretan artikelnya bertajuk “Sjafruddin Prawiranegara Contoh Kristalisasi Pemikiran Ideologis” dalam Panji Masyarakat, No. 604, 23 Rajab-2 Sya’ban 1409 H/1-10 Maret 1989. Sebulan sepeninggalan Syafruddin Prawiranegara 15 Februari 1989.


Comments