Ulasan
Karya Kuntowijoyo "Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa"
Saya terheran begitu
mengetahui bahwa buku Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa adalah
tugas akhir Kuntowijoyo saat menamatkan studi sarjananya. Jika berdasarkan
metode yang digunakan dalam penulisan sejarah, buku ini mengganggu pikiran saya.
Dilihat dari aspek spasial dan temporalnya, mungkinkah buku ini ditulis dengan
sumber primer? Karena saya pikir, untuk mencarinya saja harus berkunjung ke
lembaga-lembaga kearsipan di beberapa negara disana.
Jika dipikir secara awam,
agaknya begitu, terlebih negeri-negeri kawasan Eropa dikenal ketat dalam merawat
dan menjaga arsip-arsip catatan sejarahnya. Arsip-arsip
tersebut jarang luput tercecer dari penguasaannya. Kerapihan dalam menjaga
arsip selain karena mereka merupakan bangsa yang menghargai sejarah, bias
kolonial juga mempengaruhi. Sebab berimplikasi pada interpretasi penulisan
sejarah. Namun dunia akademik juga beruntung dengan pemanfaatan teknologi
digital yang memuat banyak akses publikasi sumber-sumber sejarah secara global,
walaupun tidak secara keseluruhan.
Namun jika dipikir ulang,
memang tidak sesederhana itu, karena hal ini berkaitan dengan konteks dunia
akademik saat itu. Bagaimana struktur dan laju perkembangan ilmu pengetahuan pada
masa generasi awal mahasiswa sejarah Indonesia. Justru generasi selanjutnya
patut berterimakasih pada mereka, karena melalui buah pikir dan upaya mereka,
generasi mahasiswa sejarah selanjutnya mendapat susunan metode ilmu dan
historiografi yang cukup mapan. Tetapi tetap masih membuka lebar peluang untuk
memperbarui historiografi itu, dalam rangka melanjutkan upaya generasi awal.
Bidang studi sastra dan
sejarah di perguruan tinggi, atau studi sosial humaniora lainnya serta semua
ilmu pengetahuan modern secara umum, merupakan tinggalan para sarjana kolonial.
Sistem tata kelola kearsipan dan sumber-sumber sejarah pun hampir belum
terbentuk, sehingga kepustakaan dan sumber sejarah dalam negeri sangat
terbatas. Karya-karya akademik sarjana Eropa dan atau sarjana kolonial justru
yang memenuhi sumber kepustakaan kalangan intelektual Indonesia. Maka pengetahuan
sejarah Eropa pun merupakan pengetahuan umum yang menjadi rujukan awal
penulisan sejarah di Indonesia.
Maka menjadi biasa
apabila penulisan sejarah generasi awal mahasiswa sejarah di Indonesia memang
didominasi oleh penulisan sejarah Eropa. Bukan hanya Kuntowijoyo, hal ini sudah
dimulai sejak era Sartono Kartodirdjo, yang memulai studi sejarahnya sejak tahun
1950, angkatan pertama mahasiswa geschiedenis richting (jurusan sejarah)
Universitas Indonesia. Sartono adalah guru Kuntowijoyo di UGM, sehingga
terlihat perbedaan generasinya, bahwa Kuntowijoyo dapat dibilang merupakan generasi
kedua sejarawan Indonesia.
Tesis Sartono tingkat
sarjana membahas perbandingan antara masyarakat Abad Pertengahan dan Modern di
Eropa, dengan ilustrasi filsafat sejarah. Hal ini dituturkannya dalam
wawancaranya di Leiden yang dimuat dalam Majalah Itinerario tahun 1981.
Wawancara ini kemudian diterjemahkan oleh A.B. Lapian dan dimuat dalam Jurnal
MSI tahun 1991. Skripsi Sejarah Eropa juga ditulis oleh Taufik Abdullah tahun
1961 di UGM.
Meskipun begitu, buku Kuntowijoyo
ini sangat penting dibaca sebagai bagian dari upaya melihat bagaimana latar
belakang intelektual Kuntowijoyo tumbuh dan berkembang. Seperti yang dimuat
dalam pengantar penerbit, buku ini merupakan karya pertama yang ditulisnya
sebagai seorang sejarawan tahun 1969, dan buku terakhir yang diperiksanya
sebulan sebelum meninggalnya pada 22 Februari 2005. Kuntowijoyo menyusunnya
menggunakan sumber-sumber literatur buku terbitan tahun 1950-an dan sebagian
buku terbitan tahun 1960-an. Keseluruhan sumber kepustakaan tersebut merupakan
buku-buku klasik rujukan utama dalam bidangnya.
Saya cukup kecewa tidak
lebih awal mengenali buku ini, setidaknya sejak mendapat mata kuliah Sejarah
Eropa. Faktor pertama karena dosen pengampu mata kuliah ini sendiri tidak
pernah mewajibkan mencari dan membaca buku ini sebagai buku bacaan wajib selama
perkuliahan. Kemudian faktor lainnya memang karena saya sendiri yang tidak cukup
kreatif dalam mempelajari Sejarah Eropa. Meski begitu, ada keberuntungan yang
saya dapat sewaktu menyelami buku ini, sebab saya membacanya bersamaan dengan
dua buku lain yang bersinggungan, yaitu Islam dan Sekularisme karya Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, dan Orientalisme karya Edward W. Said. Bukan
hanya itu, buku ini juga menjadi pelengkap atas aktifitas belajar saya tentang worldview
dan aktifitas saya selama kurang lebih dua tahun belakangan di salah satu
lembaga penelitian sejarah di Solo.
It is not communism which
is radical, it is capitalism, begitu ungkapan Bertold
Brecht dalam buku Eric R. Wolf Peasant Wars of the Twentieth Century. Kutipan
penting ini dimuat diawal buku, yang sedikit banyak membantu pembaca untuk
mengawali pemahamannya mengenai keseluruhan isi buku. Kutipan yang secara
cermat ditulis di bagian awal buku, bermaksud untuk mengajak pembaca berpikir
mengenai konstruksi arus utama yang cenderung mengidentikkan radikalisme pada
gerakan resisten terhadap tatanan kemapanan yang merupakan hasil dari proses kapitalisme.
Lebih jauh pula, pandangan tersebut memang merupakan pandangan dominan yang
dipromosikan dalam banyak literatur bidang ilmu sosial, politik, dan ekonomi. Kutipan
tersebut rasanya menambah rasa penasaran pembaca akan isi buku.
Kuntowijoyo secara khusus
memfokuskan pembahasan pada apa yang terjadi di Eropa abad 17-18 M. Periode ini
merupakan periode transisi Eropa menuju kemunculan periode modern setelah
mengalami Renaissance yang diikuti dengan kemunculan Humanisme. Golongan
Borjuasi - yang dalam hal ini Kuntowijoyo tidak mendeskripsikannya secara
sederhana mengikut pada deskripsi kalangan marxis - merupakan simbol dari
kemunculan dinamika masyarakat Eropa yang bergerak dari suatu kondisi statis
(yang menunjuk pada periode abad pertengahan) kepada suatu dunia baru, yaitu
sebuah mentalitas baru.
Bergeraknya Eropa menuju
era modern tidak dapat dilepaskan dari lahirnya suatu cara pandang baru
sebagian besar masyarakat Eropa yang kemudian diidentifikasi sebagai golongan
borjuis. Masa ini yang utamanya terjadi di Inggris dan Prancis membawa Eropa
melewati perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, ekonomi, dan
politik. Struktur-struktur ini mengganti struktur lama yang sudah sedemikian
kolot di Eropa. Kuntowijoyo menjelaskan hal ini dengan menggunakan pendekatan
kelas.
Modernisme Eropa
Ernst
Troeltsch dalam Protestant and Progress menyebut tiga watak dunia
modern, yaitu individualistik, pembatasan kepentingan-kepentingan hidup hanya
kepada dunia kini, dan optimisme dengan kepercayaan akan diri serta keyakinan
terhadap kemajuan (progress).
Masa
transisi pasca abad pertengahan dan menuju era modern merupakan masa
pembentukan awal perubahan masyarakat Eropa. Struktur lama yang berlangsung
pada masa pertengahan digantikan dengan lembaga-lembaga modern yaitu bentuk
negara-nasional, kapitalisme, industrialisme, liberalisme, reformasi agama, dan
humanisme. Keadaan tersebut memunculkan terjadinya pergeseran sosial, dimana
faktor-faktor baru bermunculan, yaitu kekayaan sebagai ukuran yang menetapkan
kedudukan seseorang dalam masyarakat.
Terjadi
berbagai perubahan dalam dasar-dasar kehidupan ekonomi, struktur masyarakat,
organisasi kenegaraan, dan orientasi intelektual. Dimana aktifitas ekonomi
bergeser dari ekonomi pertanian dan hasil bumi kepada ekonomi perdagangan dan
industri. Hal tersebut diikuti dengan kemunculan tahap perkembangan ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan kesusastraan sekular. Pelaku tidak banyak berubah,
hanya bergeser dari para aristokrat gereja kepada para borjuasi.
Dimulai
sejak berkembangnya perdagangan dan industri di kota-kota di Utara Italia
seperti Venesia, Milan, Lucca, dan Florence. Kemajuan ekonomi tersebut
mempengaruhi kemajuan-kemajuan dalam pemikiran dan cara hidup. Kalangan
intelektual yang semula di abad pertengahan didukung oleh gereja dan para
bangsawan, bergeser kepada keluarga-keluarga kaya yang menguasai perdagangan
dan industri tersebut. Karakter bangsawan atau pemimpin publik juga bergeser
bukan hanya seseorang yang mahir dalam berkelahi dengan segenap kemegahannya,
tapi juga sosok yang terpelajar, sopan, serta menaruh perhatian pada
kesusastraan dan seni. Muncul Niccolo Machiavelli, seorang filsuf politik, yang
menemukan kecenderungan baru dalam etika politik. Ia menetralkan pemerintahan
dari unsur agama dan menganjurkan politik realis yang tidak ada satupun nilai
yang terikat daripadanya kecuali tujuan politiknya itu sendiri.
Laku
diri pun bergeser seiring dengan bergesernya aktifitas ekonomi dengan
perdagangan dan industri. Sebagian besar orang cenderung berpikir dan bertindak
rasional karena fokus pada perhitungan untung-rugi perdagangan. Renaissance dan
Humanisme adalah respon dari kondisi masyarakat pada abad pertengahan, dimana
kemudian muncul keinginan masyarakat Eropa untuk kembali pada kebudayaan dan
cara pandang masa Yunani Romawi. Sedangkan humanisme menarik cara pandang dunia
hanya terbatas pada manusia dan menihilkan keberadaan Tuhan serta unsur agama sebagai
unsur diluar manusia dalam memandang hakikat dan kebenaran. Sebuah cara pandang
yang memusatkan manusia atas segala sesuatu, yaitu antroposentrisme.
Kemudian
individualisme membuat orang tidak lagi merasa dirinya sebagai anggota dari
suatu kelompok, tetapi suatu pribadi yang bebas. Ia memiliki kebebasan atas
kehendak dirinya dalam tradisi, moral, dan agama. Sedangkan semangat kosmopolitanisme
dari Renaissance sebagaimana dituangkan oleh Dante dan Ghiberti tidak akan
terdapat pada zaman pertengahan waktu seseorang adalah anggota dari masyarakat
tertutup atau seseorang yang berlindung dalam gereja universal. Tetapi pasti lahir
dari jiwa seseorang yang mengenal seluruh dunia dan melihat
kemungkinan-kemungkinan baru dengan horison yang jauh. Renaissance juga
memberikan sumbangan pada era modern dimana ikatan-ikatan intelektual dan
kemasyarakatan terlepas dari susunan atau struktur lama.
Renaissance
dan Humanisme mempengaruhi munculnya gerakan keagamaan dalam tubuh
kristianitas. Gerakan ini yang kemudian disebut dengan proses reformasi dalam
kalangan orang-orang Kristen. Gerakan ini muncul tak lama setelah kemunculan
Renaissance abad 16 yang mencoba mempertanyakan unsur-unsur teologis dalam
tubuh gereja selama abad pertengahan. Hasilnya terjadi perpecahan dalam tubuh
Kristen yang menyangkut unsur teologis, dimana kalangan reformis mempertanyakan
otoritas gereja sebagai lembaga yang mengatur ajaran Kristen. Bagi kalangan
reformasi nantinya, mereka tidak lagi menggunakan orientasi otoritas seperti
terwujud selama abad pertengahan yang hingga kini masih bertahan dalam ajaran
Katolik.
Kecaman
terhadap gereja adalah kecaman terhadap kebanyakan institusi zaman pertengahan.
Peradaban zaman pertengahan adalah peradaban otoritas, kata Troeltsch, dan
Katolikisme adalah agama yang mendasarkan diri pada otoritas. Sedangkan
protestantisme merupakan suatu agama individu yang menunjukkan dirinya bagian
dari dunia modern.
Selanjutnya
Kuntowijoyo menjelaskan terjadi pergeseran yang disebabkan oleh kemunculan
reformasi yaitu, Gereja Katolik terpisah, dan susunan yang lama ditinggalkan,
sehingga gereja dan kristianitas di reorganisasi kembali. Muncul moralitas
individual dan penyelidikan teologis yang bebas. Agama Kristen banyak
dinasionalisir. Dogma-dogma Katolik semakin sempit dengan perlawanannya
terhadap protestantisme karena selalu menarik garis-garis pemisah yang jelas.
Kemudian Paus kehilangan kekuasaannya dengan semakin menguatnya negara-negara
nasional, tidak ada lagi gereja universal yang berdiri di atas raja-raja.
Tercampurnya masalah keagamaan dengan politik, dimana lebih dari serratus
tahun, Eropa dilanda perang saudara, perang antar negara dengan pencampuran
masalah agama dan politik.
Ilmu
Pengetahuan dan Pemikiran Modern
Adapun
tentang kelas, terdapat banyak teori yang menjelaskannya. Perbedaannya terdapat
pada bagaimana kalangan peneliti menggunakan faktor-faktor yang menjadi kriteria
pembedaan kelas tertentu. Bagi Cole, struktur kelas dalam sebuah negara modern
itu sangat kompleks, yang diukur ketika ia mempelajari struktur kelas di
Inggris. Baginya kriteria ukuran kelas dalam struktur masyarakat tersebut
tercampur dengan faktor pendapatan, jabatan, hubungan kekeluargaan, dan faktor
lainnya. Sedangkan Marx membagi struktur kelas lebih sederhana berdasarkan
kriteria kepemilikan alat produksi.
Faktor
yang membentuk kelas adalah kepentingan ekonomi dan masalah pemasaran. Borjuasi
mula-mula menunjukkan diri sebagai suatu kelas dengan kepentingan-kepentingan
ekonomi. Namun, anak ternyata bahwa sebagai logical consequenses dari
kepentingan-kepentingan ekonomi seluruh susunan kemasyarakatan dan peradaban
pada umumnya terbawa.
Sebelum
abad 18 peradaban didasarkan pada kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, kewajiban
terhadap penguasa, sedangkan pada abad 18, peradaban didasarkan pada cita-cita
tentang hak, yaitu hak-hak pribadi, kemerdekaan berbicara dan berpendapat, dan
hak-hak manusia sebagai warga negara. Pada abad 18 dunia pemikiran dan
cita-cita mendapatkan jalan untuk melepaskan diri seluruhnya dari zaman
pertengahan. Formulasi dari cita-cita borjuasi mencapai penegasannya.
Tidak
sesuainya sistem teologis sebagai dasar peradaban Eropa mendorong pencarian
dasar baru, yaitu pandangan terhadap realitas yang lebih rasional. Kegairahan
hidup terhadap perkembangan intelektual menggantikan semangat militer, borjuasi
menggantikan aristokrasi sebagai kelas yang dominan. Borjuasi memiliki
kepentingan atas perdamaian untuk melancarkan usaha mereka dalam aktivitas
perdagangan dan industri menjalin negara-negara Eropa dalam suasana perdamaian
baru, yaitu perdamaian yang semula mempunyai dasar dalam agama. Kemerdekaan,
industri, dan perdamaian menempati kaidah moral baru.
Dalam
masyarakat industrial itu politik ekonomi menempati kedudukan penting, hal ini
bertentangan sama sekali dengan cita-cita asketis. Kekayaan menjadi basis dari
kemajuan intelektual dan sosial serta akumulasi kapital mendapat pembenaran.
Orang mulai merasa tidak puas dengan keadaan yang ada dan mulai mencari jalan
baru untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materiil yang merupakan sumber
kemajuan. Keselamatan melalui kristus digantikan dengan keselamatan melalui
kemajuan daya pikir manusia.
Rasionalisme
dalam dunia pemikiran seperti yang diungkapkan Descartes mempunyai implikasi
dalam kehidupan sehari-hari pada borjuasi dan tingkah lakunya. Rasionalisme
sebagai sikap mental dalam ilmu pengetahuan modern menjadi sikap manusia dan
peralatannya pula. Jasa kapitalisme dalam mengembangkan rasionalitas adalah
dengan menjadikan uang sebagai alat penghitung yang rasional.
Fungsi
negara hanyalah sebagai penjaga keamanan dan menjamin dengan kekuasaannya
keselamatan borjuasi dan usaha-usahanya dari ancaman, terutama proletariat dan
cita-cita sosialisme. Proses kapitalisme, menurut Schumpeter, mempunyai tujuan
terakhir yaitu free thinking dalam arti monisme materialistis, laicism,
dan pandangan pragmatis terhadap dunia, dimana hal ini merupakan semangat dari
sekularisme.
Kemenangan
akal terhadap yang bukan akal adalah ciri dari dunia modern yang maju, kata
Voltaire. Rasionalisme dan sekularisme adalah mentalitas borjuasi, dimana agama
dipandang sebagai urusan pribadi yang lepas dari tingkah laku sosial, maka
kemudian timbullah Susila sekular. Sehingga terwujudlah pola perkembangan ilmu
pengetahuan modern yang mengambil sifat-sifat asasi seperti dijelaskan diatas.
Comments
Post a Comment