Diskursus
mengenai Islam dan interaksi peradabannya dengan Kepulauan Nusantara menjadi
pewacanaan serius dalam studi kesejarahan di Indonesia. Diskursus ini juga bergulir
menyentuh studi-studi yang saling berkait dengan studi kesejarahan seperti
studi kesusastraan dan kajian kebudayaan. Secara umum diskursus ini sangat
dekat dengan disipilin ilmu sosial humaniora.
Diskursus ini
mengemuka bersamaan dengan munculnya kesadaran kritis terhadap pandangan
kebudayaan dan sekelumit permasalahan identitas di tengah masyarakat Indonesia.
Terpaan arus modernitas yang semakin
mengaburkan kesadaran akan makna identitas dan kebudayaan juga mempengaruhi
kesadaran kritis ini. Berdasarkan hal tersebut, kalangan akademik meyakini
adanya permasalahan struktural, yang berkaitan dengan realitas kontsruksi
pengetahuan kita, warisan tradisi kesarjanaan barat (orientalisme) sejak era
kolonial hingga pasca kolonial.
Sebagai
masyarakat pasca kolonial, permasalahan ini tentu berkaitan dengan dimensi struktural
dalam konstruksi pengetahuan mengenai identitas dan kebudayaan. Kolonialisme
berupaya turut mengambil kepentingan bukan hanya dalam aspek politik, sosial,
dan ekonomi, melainkan juga menyentuh aspek kebudayaan yang penting bagi
kesadaran diri masyarakat kolonial.
Dalam hal ini Islam
sebagai agama dan kebudayaan mayoritas dalam masyarakat Indonesia seringkali
diperhadap-hadapkan dengan unsur identitas daerah seperti Jawa, Melayu,
Minangkabau, maupun identitas kebudayaan daerah lainnya. Bagi tradisi kesarjaan
barat Islam dipandang sebagai unsur asing yang terpisah dari pembentukan tradisi
kebudayaan daerah.
Konstruksi
pengetahuan kita tentang identitas kebudayaan daerah, misalnya masyarakat Jawa,
seringkali terbatas hanya pada pengaruh-pengaruh kebudayaan pra-Islam. Pengaruh
Islam seringkali dipandang sebagai unsur yang tidak memberi peran penting dalam
masyarakat Jawa, dan hanya dianggap sebagai budaya sampingan. Taufik Abdullah
menjelaskan bahwa Islam bahkan dipandang sebagai outsider dalam perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa.
Konstruksi
pengetahuan hasil aktivitas orientalisme ini masih terus berlangsung. Tak
sedikit konstruksi pengetahuan hasil kesimpulan para orientalis mempengaruhi
kalangan akademik dan elit intelektual Indonesia. Seperti tampak dalam kecenderungan
karya-karya seni dan sastra modern di Indonesia tahun 1970 sampai 1980-an, yang
diungkapkan Abdul Hadi W.M. dalam catatan kritisnya tahun 1983 berjudul Kembali ke Akar Kembali ke Sumber.
Edward W. Said
dalam Orientalisme juga berpandangan
bahwa aktivitas dan tradisi kesarjanaan barat merupakan gaya barat untuk
mendominasi, menata ulang, dan menetapkan kekuasaan mereka terhadap dunia
timur. Hal ini tak lain ialah upaya struktural negara-negara barat menghegemoni
kepentingan kolonial di atas bangsa jajahannya.
Said menambahkan
sejak akhir abad ke-18, orientalisme tak lain merupakan “institusi resmi” yang
“mengurusi” dunia timur, yang membuat berbagai pernyataan tentang timur,
melegitimasi beragam asumsi tentang timur, dan mendeskripsikan timur, dengan cara
mengajarkannya, mencarikannya solusi, dan menguasainya.
Comments
Post a Comment